iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

Selain ISPO, juga terdapat Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024, yang akan menjadi peta jalan bagi Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, yang bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan.

“Kelapa sawit berkontribusi dalam menopang pemulihan ekonomi. Tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan masyarakat dengan regulasi yang diterapkan secara efektif,” ujar Menko Airlangga ketika membuka IPOC 2022.

Selanjutnya, Menko Airlangga juga menyampaikan bahwa peluang untuk meningkatkan dan memperluas substitusi bahan bakar fosil dan petrokimia di kawasan ASEAN sangat potensial, mengingat keberadaan CPOPC (CPO Producer Countries) yang terdiri dari Indonesia dan Malaysia.

Indonesia mampu memproduksi 40% dari total minyak nabati dunia. Komoditas kelapa sawit sendiri jauh lebih unggul dibandingkan komoditas pesaing minyak nabati lainnya karena memiliki produktivitas lebih tinggi dengan menggunakan lahan yang lebih sedikit.

Lebih lanjut pada kesempatan tersebut Menko Airlangga juga menjelaskan bahwa ditengah tantangan global, Pemerintah memandang tantangan tersebut sebagai peluang.

Pada sektor energi, untuk menjaga daya beli masyarakat, Pemerintah berupaya menjaga ketersediaan energi tetap ada dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.

Di sektor pangan, Pemerintah mendorong petani gurem untuk menanam jagung, kedelai, dan sorgum sebagai tumpangsari selama 3 (tiga) tahun program replanting kelapa sawit untuk menjaga cashflow.

“Pemerintah juga memprioritaskan ketahanan pangan dengan pengembangan food estate dalam bentuk koperasi untuk memberikan akses bantuan, pembiayaan, dan fasilitas lain yang diberikan oleh Pemerintah bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara dan sektor swasta,” ujar Menko Airlangga.

Dalam kesempatan tersebut Menko Airlangga juga menyampaikan bahwa berbeda dengan negara-negara lain pada 2022–2023, negara-negara ASEAN-5 diproyeksikan tidak akan mengalami resesi tetapi menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (booming) disertai dengan tingkat inflasi yang relatif moderat.

Kondisi tersebut memungkinkan peningkatan konsumsi minyak sawit di kawasan ini baik untuk oleofood maupun melalui ekspansi domestik dan untuk substitusi bahan bakar fosil maupun petrokimia yang semakin mahal secara global.

Kenaikan harga minyak mentah pada 2022-2024 menyebabkan produk turunan seperti petrokimia menjadi lebih mahal.

“Oleh karena itu, upaya substitusi bahan bakar fosil dengan biodiesel sawit, green fuel lainnya, dan petrokimia dengan oleokimia berbasis sawit merupakan strategi yang akan membuat industri sawit lebih layak di tengah krisis. Hingga tahun 2022, Indonesia masih menerapkan B30. Saat ini, Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel lebih rendah daripada HIP Solar,” kata Menko Airlangga.


Berita Terkait



add images