iklan Ilustrasi wisuda sarjana, salah memilih jurusan jadi salah satu penyebab sarjana masuk ke dunia kerja.
Ilustrasi wisuda sarjana, salah memilih jurusan jadi salah satu penyebab sarjana masuk ke dunia kerja. (Istimewa/Jawapos)

JAMBIUPDATE.CO– Meningkatnya jumlah pengangguran lulusan sarjana tidak lepas dari sistem pendidikan yang hanya fokus mengejar nilai kognisi. Melupakan pengembangan karakter meliputi akhlak, cakap, kreatif, mandiri, serta bertanggung jawab. Tak ayal, banyak anak bangsa yang merasa salah memilih jurusan saat kuliah.

Data Badan Pusat Statisk (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran per Februari 2019 menurun dibanding dua tahun lalu. Namun, dari sisi pendidikan, lulusan diploma dan universitas makin banyak yang menganggur. Dekan Psikologi Universitas Mercu Buana Muhammad Iqbal menuturkan, ujian yang dilakukan sekolah selama ini hanya menilai sejauh mana seorang anak menangkap kurikulum. Tapi tidak mampu menilai kecerdasan secara umum.

Merujuk teori Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind: Teori Multiple Intelegences 1983, kecerdasan ada Sembilan macam. Yakni, kecerdasan linguistik, matematis logis, visual, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan spiritual. ”Tapi di Indonesia, kalau orang tidak bisa matematika dianggap bodoh,” jelas Iqbal dalam diskusi di kawasan Menteng kemarin.

Menurut dia, paradigma guru dan orang tua di tanah air anak itu harus ikut olimpiade fisika, kimia, dan matematika. Tapi tidak ada olimpiade untuk pantun, menggambar, musik, naik gunung, dan sebagainya. Lebih menekankan kepada sains. ”Sehingga wajar anak-anak ini cabut sekolah, malas-malasan. Karena kecerdasannya bukan di bidang matematis logis. Memang tidak niat jadi peneliti. Maunya jadi seniman, sastrawan, wartawan, atau fotografer,” bebernya.


Berita Terkait



add images