iklan Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia. (fin.co.id)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat tentang perubahan kedua UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Yakni jumlah pimpinan MPR dari 5 menjadi 10 pimpinan. Ini merupakan hasil kesepakatan politik antara anggota parlemen. Di sisi lain, publik menilai penambahan jumlah pimpinan tidak urgen. Yang terlihat, justru sebagai upaya bagi-bagi kekuasaan.

“Kritikan dari masyarakat tak mereka pedulikan. Yang penting bisa menikmati kekuasaan. Paling tidak untuk lima tahun ke depan. Itulah politik dagang sapi. Bagi-bagi kekuasaan. Politik kepentingan elite semata. Tak ada manfaatnya untuk rakyat. Publik dibuat geleng-geleng kepala saja dengan tingkah elite politik yang makin hari makin menampakan wajah aslinya. Wajah kekuasaan untuk diri dan partainya,” kata pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Jumat (6/9).

Menurut Ujang, hal ini tak lebih dari akrobat politik DPR RI yang menggunakan kewenangan untuk kepentingannya sendiri. Kekuasaan digunakan untuk menguntungkan kelompoknya. Bukan menguntungkan rakyat.

“Dengan bertambahnya pimpinan MPR, maka fasilitas mobil, rumah dinas, dan tunjangan pun akan bertambah. Dengan begitu, menambah beban keuangan negara. Kritikan dari masyarakat tak digubris,” jelas Ujang.

Hal senada disampaikan pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris. Dia berharap agar Presiden Joko Widodo menolak revisi UU MD3. Alasannya, penambahan jumlah pimpinan MPR hanya untuk membagi kekuasaan saja. “Penambahan pimpinan MPR menjadi 10 kursi hanya untuk memenuhi syahwat kekuasaan. Itu hanya bagi-bagi jabatan saja,” tegas Syamsudin kepada Fajar Indonesia Network (FIN), di Jakarta, Jumat (6/9).


Berita Terkait



add images