iklan PENGABDIAN: Dokter Mangku Sitepoe memeriksa pasien di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (14/8).
PENGABDIAN: Dokter Mangku Sitepoe memeriksa pasien di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (14/8). (Syahrul Yunizar/Jawa Pos)

Pada September nanti, dokter Mangku genap berusia 84 tahun. Semangatnya masih sama seperti masa muda dulu. Mengabdikan diri tanpa peduli angka-angka. Menjadi dokter dengan bayaran Rp 10 ribu.

SAHRUL YUNIZAR, Jakarta, Jawa Pos

JAMBIUPDATE.CO, - LIMA hari dalam seminggu Dokter Mangku tidak bisa diganggu. Dia sudah punya jadwal tetap. Bertemu dengan ratusan pasiennya.

Setiap Rabu dan Sabtu dia praktik di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius yang terletak di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pada Kamis, Jumat, dan Minggu, giliran dia bertugas di klinik Gereja Santo Yohanes Penginjil di bilangan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Saat ditemui, dokter yang bernama lengkap Mangku Sitepoe itu baru turun dari angkutan umum yang sudah jadi langganannya. Jarum jam menunjuk pukul 13.00 pada Rabu pekan lalu (14/8). Hari itu giliran dia praktik di Kebayoran Lama. Dari rumahnya di Kebon Nanas, klinik tidak terlalu jauh. Cukup berjalan kaki seperempat jam, sudah sampai. Hanya, fisik yang tidak sekuat dulu memaksa Mangku naik mikrolet.

Tahu kedatangan Jawa Pos untuk menulis kisahnya, Dokter Mangku langsung mengajak masuk klinik yang berdiri di atas lahan 7 ribu meter persegi itu. Sebuah bangunan tua, bekas pabrik tegel yang telah disulap menjadi tempat berobat. ”Kalau pasien baru, harus periksa semua. Dari kepala sampai kaki,” katanya sambil meletakkan tas jinjingnya.

Tangan dokter sepuh yang mulai gemetar itu mengeluarkan jas dokter. Setelah mengenakannya dengan rapi, dia duduk. Dokter Mangku bercerita tentang klinik yang menjadi tempatnya mengabdikan diri itu. Ingatannya sangat kuat. Dari kursi di ruang kerjanya, dia menyusuri lorong memori sampai medio 1995.

Kala itu, Mangku bersama tiga koleganya menggagas klinik gratis. Dasarnya sederhana. Pertama, keyakinan bahwa setiap manusia punya sifat dengan kecenderungan ingin membantu sesama. Kedua, bakti sosial yang biasa diselenggarakan pemerintah lebih sering bersifat sementara. Padahal, banyak penyakit yang membutuhkan pengobatan terus-menerus. Misalnya, darah tinggi, jantung, dan diabetes. Tidak bisa beres dengan sekali pelayanan.


Berita Terkait



add images