iklan PENGABDIAN: Dokter Mangku Sitepoe memeriksa pasien di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (14/8).
PENGABDIAN: Dokter Mangku Sitepoe memeriksa pasien di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (14/8). (Syahrul Yunizar/Jawa Pos)

Dengan misi itu pula tempat tersebut juga dikenal dengan nama Klinik Bhakti Sosial Abadi. Selain Mangku, tiga pendiri lainnya adalah seorang lulusan farmasi Universitas Indonesia, seorang pastor, dan seorang pengusaha obat. Mereka merintis klinik itu di Gereja Santo Yohanes Penginjil.

Sampai 1999, pelayanan benar-benar gratis. Mulai pemeriksaan, konsultasi, dan obat. Semua tanpa biaya. Namun, kebaikan itu malah disalahgunakan. Banyak pasien yang menjual kembali obat-obatan yang mereka dapat. ”Dijual di Senen,” ungkapnya pelan.

Masalah berbuntut. Suplai obat yang tadinya mengalir jadi tersendat. Pengusaha obat tidak lagi mau membantu. Mangku memutuskan untuk keluar dari kolaborasi sosial itu. Pengobatan yang semula gratis mau tidak mau dibikin berbayar.

Namun, Mangku tetap ingin mempertahan­kan identitas klinik. Ramah bagi masyarakat menengah ke bawah. Apalagi, dia tahu, tidak semua pasien menjual kembali obat yang mereka dapat. ”Saat itu sudah ada 200-an pasien setiap hari,” tuturnya.

Keteguhan itulah yang membuat klinik tersebut menjadi yang paling terjangkau di ibu kota. Mangku mematok tarif murah. Dia lupa awalnya berapa. Yang pasti, sekarang biayanya hanya Rp 10 ribu. Mangku bersama rekan-rekannya tidak membatasi jumlah pasien. Semua yang datang pasti dilayani. Selain pelayanan umum, klinik membuka poliklinik anak dan gigi.

Tidak seperti kebanyakan dokter yang memilih buka praktik saat masih aktif bekerja, Mangku tidak melakukan itu. Tugas yang diberikan negara dia tuntaskan sampai pensiun pada 1992. Setelah itu, baru dia merintis klinik. Karena pasiennya semakin ramai, pada 2003 dia mendapat tempat di bekas pabrik tegel itu.

Sebelum menjadi dokter umum, Mangku adalah dokter hewan. Kakek asal Langkat itu memutuskan untuk mengambil pendidikan dokter umum setelah diberi amanat untuk bertugas di kampung halamannya. Banyak warga setempat yang meminta tolong ketika sakit. Mereka tidak peduli Mangku adalah dokter hewan. Karena belum ada pilihan lain, mau tidak mau Mangku pun melayani mereka.

Lama-kelamaan, dia merasa perlu mengambil pendidikan dokter umum. Universitas Sumatera Utara (USU) jadi pilihannya. Sampai tuntas menjalani studi dokter umum, Mangku juga sempat mengenyam pendidikan di Filipina dan Denmark. Jadilah dia kini dokter ganda. Selama berkiprah di dunia kedokteran, Mangku melahirkan hampir 26 buku. Selain itu, dia aktif menulis di berbagai media massa.


Berita Terkait



add images