iklan Tiwa binti Sajirun sedang menata barang-barang di tas tentengnya. Dia merupakan jamaah tertua dengan usia 103 tahun. (Robertus Risky/Jawa Pos)
Tiwa binti Sajirun sedang menata barang-barang di tas tentengnya. Dia merupakan jamaah tertua dengan usia 103 tahun. (Robertus Risky/Jawa Pos)

Yang satu merupakan CJH tertua di Jawa Timur. Satunya lagi bisa berhaji dari hasil jualan kacang goreng. Tiwa binti Sajirun dan Sunak Mutiha Djumakah adalah contoh orang-orang yang membuktikan bahwa selama ada niat, segala halangan bisa disingkirkan.

Galih Adi Prasetyo, Surabaya

JAMBIUPDATE.CO, - Tangannya cekatan menata barang-barang di tas. Meskipun jalannya tidak lagi tegap, dia masih sigap riwa-riwi dari lorong gedung B Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES).

Tak ada raut lelah di wajah Tiwa binti Sajirun yang sudah dihiasi keriput itu.

Layaknya masih berumur 60 tahunan. Namun, siapa sangka usianya sudah lebih dari seabad: 103 tahun tepatnya. Tiwa berasal dari Desa Sana Laok, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan. Dia tergabung dalam kloter 9 Pamekasan. Lupa kapan daftarnya, pokoknya sudah lama, ujarnya kemarin (9/7).

Tiwa merupakan calon jamaah haji (CJH) tertua Jawa Timur. Usia senja tidak membuatnya mundur melakukan ibadah itu. Bayangan panas terik di sana sudah dianggap bagian kesehariannya yang bekerja sebagai petani. Meskipun hanya bisa berbahasa Madura, Tiwa tak khawatir. Apalagi, pendengaran dan penglihatannya masih berfungsi dengan baik. Tekadnya sudah sangat mantap. Ada pendamping, buat apa takut? ucap perempuan dengan 3 anak dan 10 cucu itu.

Dua anak dan menantunya sudah lebih dulu berhaji. Kini gilirannya. Sang anak yang membiayai kepergiannya beribadah. Namun, untuk sehari-hari, Tiwa mengaku menghidupi diri sendiri. Dia tidak mau menggantungkan hidup kepada orang lain. Ya uang dari tani. Nanam panen, dapat uang, katanya.

Tak ada resep khusus soal tubuhnya yang masih sehat. Dia hanya punya minuman favorit. Hampir seminggu sekali ditenggak rutin. Yakni campuran susu, telur, dan madu. Ada juga resep herbal. Dari ramuan temulawak, jahe, dan kunyit. Mungkin itu yang bikin sehat. Tapi ya nggak tahu lagi, ujarnya.

Hampir semua hal dilakukan Tiwa sendiri. Misalnya melakukan persiapan sebelum berangkat kemarin. Satu per satu dia kemasi perlengkapan ibadahnya. Sajadah, mukena, dan perbekalan yang akan dibawa dalam tas tenteng miliknya. Tas koper sudah masuk bagasi. Namun, kata dia, tak ada barang spesial. Hanya sebungkus permen kopi dan tumbler 600 mililiter. Selebihnya beberapa lembar baju. Ya, cuma bawa ini saja. Sama obat pegal linu, ungkapnya.

Tiwa berharap bisa menjalani ibadah dengan baik. Apalagi, dia merasa masih kuat berjalan. Rangkaian tawaf, sai, bermalam di Mina, hingga melempar jumrah yang menuntut tenaga juga sudah diperhitungkannya. Namun, dia pasrah jika nanti pe­tugas memintanya menggunakan kursi roda. Tapi kalau sekarang ya masih kuat, ucapnya.

Tiwa sudah membekali diri dengan berbagai hafalan doa yang diajarkan anaknya. Dia bersyukur masih belum pikun. Keinginannya di Tanah Suci nanti sederhana saja. Saya mau berdoa supaya sehat terus, kuat, dan terus bisa bekerja, ungkapnya.

Cerita pemilik tekad kuat untuk berhaji juga datang dari Sunak Mutiha Djumakah. Perempuan 54 tahun itu tergabung dalam kloter 9 asal Probolinggo. Tak pernah terbayangkan baginya tahun ini berangkat haji. Pemasukan sehari-hari hanya mengandalkan berjualan kacang goreng. Namun, itu tak membuat dia patah arang. Tirakat dan jerih payahnya menabung selama delapan tahun mengantar dia mencapai mimpi berhaji. Saya sisihkan untung dari jual kacang di warung-warung, ujar ibu satu anak tersebut.

Sunak mulai berjualan kacang 17 tahun lalu ketika suaminya meninggal. Dia membeli kacang mentah, lalu mengolahnya menjadi kacang goreng. Dikemas dalam plastik dan dibentuk rentengan. Seminggu 3-4 kilogram kacang berhasil dijajakan. Satu bungkus dijual Rp 400. Ukuran yang lebih besar Rp 800. Ada lima warung yang jadi langganan Sunak untuk dititipi. Kadang baru seminggu habis, kadang lebih cepat. Nggak mesti, katanya.

Keuntungan Rp 20-30 ribu per hari dikumpulkan. Diatur untuk kulakan dan makan. Anak semata wayangnya bekerja sebagai montir. Buka bengkel kecil di depan rumah Sunak. Namun, mereka tidak tinggal serumah. Saya tidak mau minta anak, nyari sendiri saja, ucapnya.

Kepergian haji tahun ini tidak terlepas dari bantuan tetangga. Sembilan tahun lalu Sunak mengutarakan keinginan berhaji, tapi tidak berani daftar karena tak punya biaya. Tak disangka, beberapa hari kemudian, tetangga itu meminta sejumlah berkas pribadinya untuk lantas mendaftarkan Sunak.

Biaya haji didapatkan Sunak dari tabungan jual kacang itu. Dikumpulkan, lalu dititipkan ke tetangganya tersebut sebulan sekali. Setelah satu tahun baru disetor ke bank. Jumlahnya tidak pasti. Kadang sebulan bisa terkumpul Rp 500 ribu, kadang bisa lebih. Tidak jarang ada tetangga yang membantu menyumbang.

Salah satu yang menguatkan Sunak untuk berangkat ke Tanah Suci adalah keinginan menghajikan kedua orang tuanya yang sudah tiada lewat badal haji. Mungkin ini doa kedua orang tua saya juga, katanya.

Saat masa pelunasan, Sunak sempat ketir-ketir. Uangnya kurang Rp 3,5 juta. Namun, namanya sudah niat, ada saja jalan. Salah seorang kerabatnya membantu membayar kekurangan biaya itu. Begitu juga halnya saat hendak berangkat dari rumah ke titik pemberangkatan di Probolinggo. Banyak warga yang sukarela menawarkan kendaraan.

Selama menabung, Sunak benar-benar mengerem keinginan untuk membeli barang tak perlu. Yang penting bisa makan. Sehari kadang hanya mengeluarkan uang Rp 1.000 untuk beli sayuran. Namun, dia sangat menjaga ibadahnya. Salat berjamaah di masjid lima waktu nyaris tak dilewatkan.

Rencana haji itu nyaris kandas ketika dua tahun lalu Sunak terpeleset di masjid. Dokter minta operasi, tapi dia tidak mau. Ternyata, seiring perjalanan waktu, kakinya sembuh sendiri. Sekarang doanya semoga ibadah lancar sambil bawa nama orang tua, ujarnya.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : (*/c9/ayi)


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images