Penulis : Prof. Dr. H. Haryadi, S.E., M.M.S.
(Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jambi)
Pendahuluan
Pada tahun 2025, Pemerintah Indonesia memasuki babak baru dalam kebijakan fiskalnya dengan mengumumkan penempatan dana sebesar Rp200 triliun dari kas negara ke sistem perbankan nasional. Sebuah kebijakan yang tergolong berani, namun memiliki potensi bagus sekaligus juga resiko. Kebijakan ini diumumkan dalam suasana transisi yang krusial: pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa. Pergantian ini bukan sekadar rotasi birokratik, melainkan pergeseran arah kebijakan yang lebih proaktif terhadap ekonomi daerah dan kebutuhan kredit sektor riil.
Stimulus ini menjadi ujian bukan hanya bagi pemerintah pusat, tapi juga bagi kesiapan daerah untuk menyambut dan memanfaatkannya. Pertanyaannya kemudian: apakah stimulus ini akan berhasil? Jawaban tergantung pada banyak hal, tetapi terutama pada: (1) Kesiapan sistem keuangan untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif; (2) Kapasitas pemerintah daerah dalam menyerap dan mengarahkan dana ini; (3) Kemampuan merancang kebijakan ikutan yang mendorong dampak ekonomi jangka menengah dan panjang. Tulisan ini membedah tiga aspek utama: (1) Analisis tajam terhadap stimulus dari perspektif ekonomi makro dan structural; (2) Rekomendasi paket kebijakan ekonomi untuk masyarakat daerah; (3) Strategi konkret bagi Pemerintah Daerah, dengan fokus studi kasus Provinsi Jambi, agar mampu memanfaatkan stimulus ini secara optimal sebagai momentum transformasi ekonomi daerah.
I. Analisis Ekonomi terhadap Stimulus Rp200 Triliun
1.1 Konteks dan Rasionalitas Kebijakan
Stimulus sebesar Rp200 triliun yang digulirkan oleh pemerintah pada tahun 2025 hadir dalam momen yang sangat krusial bagi perekonomian nasional. Dunia masih dibayangi ketidakpastian global, mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang, volatilitas harga komoditas, disrupsi rantai pasok, hingga ketegangan geopolitik yang memicu lonjakan harga energi dan pangan. Situasi ini memengaruhi ekspor Indonesia dan menekan daya beli masyarakat.
BACA JUGA: Gubernur Al Haris Antar Langsung Berkas Pengusulan PPPK Paruh Waktu ke Kementerian PANRB
Di sisi domestik, pemulihan pasca-pandemi memang menunjukkan arah positif, tetapi tidak merata. Ketimpangan antardaerah masih tinggi, dan kontribusi sektor informal terhadap PDB tetap besar. Maka, dibutuhkan intervensi fiskal yang bukan hanya menjaga stabilitas makro, tetapi mampu mendorong produktivitas, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya beli—terutama di wilayah di luar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Jawa.
Penempatan dana sebesar Rp200 triliun oleh pemerintah ke perbankan merupakan langkah strategis. Dengan meningkatkan likuiditas sistem keuangan, pemerintah berharap agar perbankan memiliki ruang lebih luas untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif. Target utamanya adalah UMKM, proyek infrastruktur daerah, dan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja secara signifikan. Lebih dari itu, stimulus ini juga merepresentasikan upaya untuk memperkuat peran pemerintah daerah dalam menggerakkan ekonomi lokal. Dengan distribusi dana yang disertai dorongan kepada bank pembangunan daerah, diharapkan daerah-daerah dengan potensi ekonomi tinggi namun akses pembiayaan rendah bisa terdongkrak.
1.2 Analisis Dampak Makroekonomi
Secara teori, kebijakan ini mendukung transmisi fiskal melalui kanal keuangan. Ketika bank menerima dana segar dari pemerintah, mereka akan mengalami penurunan cost of fund. Ini memungkinkan bank untuk menurunkan suku bunga kredit, memperluas akses pinjaman, dan meningkatkan pembiayaan untuk sektor produktif. Jika disalurkan dengan tepat, stimulus ini dapat memperbesar konsumsi rumah tangga melalui peningkatan pendapatan dan pembukaan lapangan kerja. Di sisi lain, peningkatan investasi sektor riil juga berpotensi mendorong kapasitas produksi dan inovasi teknologi. Kombinasi ini bisa memperkuat pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan menjaga daya tahan terhadap tekanan eksternal.
BACA JUGA: Jalan Alternatif Padang Lamo Rusak Parah, Warga Tebo Keluhkan Akses ke Sumatera Barat
Namun demikian, manfaat tersebut baru bisa tercapai jika sejumlah prasyarat terpenuhi. Pertama, harus ada permintaan agregat yang cukup di pasar. Kredit hanya akan diserap jika pelaku usaha dan masyarakat melihat peluang dan daya beli yang meningkat. Kedua, proyek-proyek produktif di daerah harus tersedia dan siap dibiayai. Ketiga, birokrasi pemerintah daerah harus mampu menyerap dana dan mengelolanya secara efisien, transparan, dan tepat sasaran.
1.3 Risiko dan Tantangan Implementasi
Stimulus Rp200 triliun yang digulirkan pemerintah memang menjanjikan, namun pelaksanaannya menghadapi tantangan serius. Risiko mismatch kredit menjadi salah satu hambatan utama, karena bank cenderung enggan menyalurkan pembiayaan ke sektor berisiko tinggi seperti pertanian, perikanan, atau UMKM ultra-mikro. Tanpa adanya mitigasi, dana dapat kembali ke sektor aman yang kurang berdampak pada penciptaan nilai tambah lokal. Selain itu, terdapat time lag di mana manfaat stimulus baru terasa enam hingga dua belas bulan setelah implementasi, sehingga publik mungkin belum merasakan dampak langsung. Tidak kalah penting, jika dana terserap ke sektor non-produktif, lonjakan permintaan berisiko memicu inflasi tanpa peningkatan output, yang akhirnya mengikis daya beli masyarakat dan mengurangi efektivitas program.
Untuk memastikan efektivitas, stimulus ini memerlukan kebijakan pendukung dan reformasi struktural. Regulasi harus lebih fleksibel melalui relaksasi syarat pinjaman, subsidi bunga, dan skema penjaminan agar kredit benar-benar mengalir ke sektor prioritas. Di sisi lain, sinergi pusat-daerah wajib diperkuat agar proyek layak, daftar prioritas investasi, dan SDM pelaksana siap. Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi kunci, dengan pelaporan real-time berbasis data terbuka untuk mencegah kebocoran dan meningkatkan kepercayaan publik. Dengan begitu, stimulus bukan hanya angka besar, tetapi instrumen nyata untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dan mendorong transformasi daerah yang inklusif dan berkelanjutan.
