Sementara itu, Direktur Kajian dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Dwi Nanto mengatakan masih tingginya konflik lahan di Jambi karena regulasi yang tak mendukung. Dimana regulasi penyelesaian konflik hanya tertumpu pada tim terpadu di Kabupaten/Kota. "Dan angka penyelesaian konflik tak sebanding dengan jumlah konflik yang ada. Penyelesaian konflik lambat tapi bermunculan juga konflik baru pada tahun ini," kata Dwi kepada Jambi Ekspres.
Ia mengakui harus ada evaluasi terhadap penyelesaian konflik lahan. Berupa integrasi penyelesaian dari Kabupaten ke tingkat Provinsi dan penyamaan data. "Harus dievaluasi pengusahaan tanah korporasi dengan rakyat. Ini susah diurai karena banyak aktor didalamnya," akunya.
Untuk BPN, Dwi menyatakan seperti memberikan izin pada 5 tahun sebelumnya, sedangkan saat izin itu berjalan pihak perusahaannya sudah tak ada atau tak diketahui lagi pihak yang memegang izin awalnya. "Sehingga sulit dideteksi izin yang diberikan ini, karena dokumen sulit kita dapatkan. Seharusnya BPN datanya sudah digital soal Peta HGU, izin lokasi, izin prinsip harusnya semua sudah digital , jadi jika ada konflik tinggal dibuka saja, itu yang belum dilakukan BPN Jambi tak tahu kalau di BPN daerah lain, di BPN kita sulit juga untuk terbuka," sampai Dwi.
Sejauh ini Dwi mengatakan, dari catatan pihaknya ada 170 konflik lahan. Bahkan jumlah ini bisa bertambah karena Walhi akan merilis data tiap akhir tahun. Dimana yang terbanyak yang bersangkutan antara perusahaan dan masyarakat berada di Kabupaten Muaro Jambi. (aan)
