iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

Ia menegaskan, akar masalahnya, bukan karena perbedaan organisasi kemasyarakatan, bukan karena perbedaan pijakan atau dalil, bukan pula akibat perbedaan metode (perbedaan rukyat dan hisab), melainkan perbedaan dalam memahami kriteria awal bulan (month), yaitu hilal (bulan sabit).

Ormas Muhammadiyah misalnya, mengkuatifikasi hilal sebagai posisi bulan di atas horizon (ufuk) saat magrib.

Pihak yang berbeda menetapkan syarat tambahan, bukan hanya di atas ufuk, melainkan ada ketinggian minimum, yaitu lebih dari 3 derajat, dan syariat lainnya, termasuk sudut elongasi bulan dan Matahari, saat magrib.

Sebab itu, perbedaan yang ada perlu dipahami asal muasalnya, untuk selanjutnya saling memahami, dan tidak saling menyalahkan.

“Jadi, selama definisi atau kriteria ini masih berbeda, maka potensi perbedaan akan selalu ada,” bebernya.

“Perbedaan dalam kubu umat Islam bisa menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan Ilmu pengetahuan jika disikapi dengan penuh hikmah,” tegas Prof Tasrief. (dra/fajar)


Sumber: www.fajar.co.id

Berita Terkait



add images