iklan Pahmi Sy.
Pahmi Sy.

Oleh : Pahmi.sy

Ulang tahun Jambi yng ke 65 ( 6 Januari 1957 - 6 Januari 2022) adalah usia yang sangat dewasa untuk menegok kembali kondisi ekologi dan sosial, sebagai sebuah pikiran sederhana dalam menembus masa depan. Pikiran ini berpijak dari relasi manusia dengan lingkungannya, dimana perubahan ekologis akan berpengaruhi perubahan sosial.

Penggalan lirik lagu Negeri Jambi, yang dinyanyikan oleh Ikke Nurjannah “alamnyo indah dari tanjung jabung hinggo kerinci, sungguh Jambi suatu negeri yang oleh Tuhan telah diberkati” Lagu ini menegaskan bahwa Jambi memiliki alam yang sangat kaya dan indah.

Jambi dikenal dengan tiga daerah rangkaian pengunungan, pertama Bukit Barisan yang di dalamnya ada gunung Kerinci yang tertinggi di Sumatera dan sekitarnya, kedua Pengunungan Bukit Tiga Puluh, dan ketiga Pengunungan Bukit Dua Belas, dari kawasan ini memunculkan air dan aliran sungai Batanghari, sungai yang membelah, yang dikenal dengan sungai terpanjang di Sumatera. Areal pergunungan dan aliran sungai menyimpan berbagai aneka mahluk hidup yang secara ekosistem saling menopang. Dibagian tengah dan timur merupakan dataran rendah menuju laut yang kaya dengan gambut dan ikan.

Keindahan dan kekayaan dari barat sampai ke timur membuat Jambi dipercaya menjaga empat Taman Nasional, Taman Nasional Bukit 12, Taman Nasional Bukit 30, Taman Nasional Kerinci Sebelat dan Taman Nasional Berbak.

Kondisi alam yang memuat keanekaragaman hayati, baik flora dan fauna telah memberikan ruang dan kebutuhan hidup bagi komunitas yang ada disekitarnya, mulai dari komunitas Suku Anak Dalam yang mengandalkan hidupnya pada alam, dengan cara berburu dan meramu sampai kepada komunitas Melayu yang secara luas hidup dipedesaan sebagai petani dan nelayan, begitu juga dengan suku datang, yang di hadir melalui program transmigrasi maupun yang datang secara mandiri.

Kekayaan alam yang indah itu mulai tergerus, terancam punah dan krisis, dari decade ke decade berikutnya, mulai dari Orde Baru sampai ke Orde Reformasi, tercatat Jambi kehilangan tutupan hutan sangat cepat dan luas, seperti dikatakan WALHI tahun 2017, bahwa Jambi kehilangan tutupan hutan 100 ribu hektar pertahun. Berdasarkan SK.863/Menhut-II/2014, luas hutan Jambi 2.098.535.00 Ha atau 43,12 % dari luas provinsi Jambi. Namun, kini hanya tersisa 900.713 Ha. Hilangnya hutan dan segala isinya, disebabkan oleh konsensi hutan tanaman industri, pengembangan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan transmigrasi.

Disamping ekspansi yang dilakukan oleh berbagai pihak tersebut, yang menyebabkan punahnya ekosistem, dikatakan kata Direktur KKI Warsi Rudi Syaf, Kamis, 19 Desember 2019 Rusaknya ekosistem disebabkan antara lain; akibat kebakaran hutan, illegal logging, illegal drilling, dan penambangan emas tanpa izin. Sehingga dapat menimbulkan beragam bencana ekologis, seperti banjir bandang. Longsor dan tergerusnya pinggir-pinggi sungai dan udara yang tidak sehat.

Kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi yang tidak terkendali mendorong berbagai pihak melakukan eksploitasi alam, menurut WALHI, Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diberikan izin mengekploitasi puluhan tahun juga memberikan dampak lingkungan.

Kemudian program perkebunan sawit, disatu sisi memberikan dampak positif untuk kesejahteraan masyarakat, namun disisi lain memberikan dampak lingkungan, apalagi perusahaan abai terhadap lingkungan, seperti hasil penelitian di kabupaten Batanghari menunjukkan pengelolaan lingkungan masih rendah, antara lain; belum sepenuhnya didukung manajmen; ketersedian dana; dan SDM pengelola lingkungan (Susianti, N, dkk, 2018). Berikutnya adalah pertambangan, seperti pertambangan batubara yang dilakukan oleh perusahaan besar dan pertambangan emas yang dilakukan masyarakat di sungai-sungai kecil, bahkan areal persawahan dijadikan lahan pertambangan.

Eksploitasi alam demi kepentingan pembangunan dan ekonomi tanpa menjaga keseimbangan lingkungan akan memunculkan berbagai persoalan ekologis. Seperti sungai yang tercemar dan matinya berbagai ikan sungai, gudulnya hutan dan kebakaran hutan menyebabkan para binatang penghuni hutan lari dan kemudian punah.

Perubahan lingkungan alam tidak hanya berdampak secara ekologis, tetapi berdampak pada kondisi sosial masyarakat, seperti terjadinya penyempitan ruang mata pencarian hidup SAD, kehilangan sumber pengehidupan mereka, Orang-orang desa melakukan penambangan liar (PETI) dan menghancurkan sawah untuk mencari emas, Kemudian terjadinya konflik seperti SAD dengan Perusahaan PT Asiatik, Konflik masyarakat desa Melayu dengan perusahaan.


Berita Terkait



add images