iklan Kantor Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta.
Kantor Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta. (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Skandal korupsi Jiwasraya secara proses hukum memang telah tuntas dengan jatuhnya vonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepada enam terdakwa. Namun, kasus yang menimpa perusahaan asuransi pelat merah tersebut masih terus jadi sorotan karena kerugian yang dialami sangat besar.

Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Mudzakir menilai, kasus Jiwasraya dan dakwaan yang diberikan kepada para terdakwa sebenarnya lebih banyak menyentuh aspek hukum bisnis.

“Mulai tuntutan sampai dakwaan, lebih ke bisnis. Basisnya dari awal itu bisnis,” ujar Mudzakir kepada wartawan, Senin (8/3).

Karenanya, Mudzakir mengungkapkan, bila hal tersebut kemudian ditinjau dengan hukum pidana, hal itu tentu saja tidaklah tepat. Misalnya, tuntutan dan dakwaan kepada salah satu terdakwa atas nama Benny Tjokrosaputro.

“Padahal kan jelas dasarnya dari berbisnis. Sekarang yang harus dipisahkan, kerugian (Jiwasraya) yang dialami seperti apa? Karena apa? Jangan dicampur aduk antara bisnis dengan pidana,” katanya.

Kemudian, perlu ditelaah juga apakah memang ada penyalahgunaan sehingga menimbulkan pidana dari hubungan terdakwa dengan Jiwasraya atau sekadar risiko bisnis.

“Apakah memang penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dari para Direksi Jiwasraya menimbulkan kerugian negara? Harus hati-hati memprosesnya,” kata Mudzakir.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa negara berpotensi mengalami kerugian Rp 16.9 triliun akibat PT Asuransi Jiwasraya berinvestasi pada 13 perusahaan bermasalah. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menilai bahwa PT Asuransi Jiwasraya diduga melanggar prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi melalui investasi pada aset dengan risiko tinggi untuk mengejar high return.


Berita Terkait



add images