iklan Feri Irawan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi
Feri Irawan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi

Tak berhenti di situ. Penghapusan ini turut berimplikasi pada penghapusan Pasal 38 yang menyatakan bila izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Imbasnya, hak gugat masyarakat kini hilang.

Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat hanya mereka yang terdampak. Sementara pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat yang ikut terpengaruh kini dihilangkan.

Omnibus law juga mengurangi hak atas informasi, serta menghilangkan pasal yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat. Kondisi ini membuat khawatir karena akan memicu timbulnya masalah baru.

Dalam kasus karhutla para petani kecil akan semakin mudah untuk dikriminalisasi karena dianggap sebagai penyebab kebakaran akibat budaya merun. Akhirnya muncul masalah pangan akibat para petani tak bisa menggarap lahan.

Bukan hanya itu, omnibus law juga seperti memfasilitasi perusakan hutan. Batasan minimal 30% kawasan hutan terutama di daerah aliran sungai atau pulau juga dihapus.

 

Pelemahan Hukum

Hal lain yang paling kentara dari dampak buruk omnibus law adalah melemahnya upaya penegakan hukum dalam perlindungan lingkungan hidup. Omnibus law telah menghapus prinsip tanggungjawab mutlak (strict liabilty) untuk para pelaku pencemaran. Ini jelas terlihat dari perubahan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup terkait tanggung jawab mutlak bagi perusak lingkungan.

Pada UU Lingkungan Hidup, menyebutkan, setiap orang yang tindakan, usaha, atau kegiatan baik memakai, menghasilkan atau mengelola limbah B3 hingga menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dalam UU Omnibus Law kata “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dihilangkan. Padahal kita tahu, selama ini itu yang membuat banyak gugatan negara atau pemerintah menang saat melawan korporasi.

Di sisi lain, pemerintah justru seakan memberikan keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan perusakan lingkungan dengan merubah sanksi pidana menjadi sanksi administratif. Omnibus law juga menghapus kewenangan PTUN membatalkan perizinan, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin.

Omnibus Law juga akan kembali menghidupkan aturan penguasaan HGU selama 90 tahun. Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah membatalkannya karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Melewati Batas

Omnibus law telah menjadikan pemerintah pusat sebagai pemain inti yang bisa mengendalikan seluruh proses perizinan untuk investasi. Akan tetapi ini justru membuat kita semakin khawatir. Pemerintah tidak akan sanggup untuk memenuhi tuntutan tanggung jawabnya yang sangat besar dengan banyaknya kewenangan yang dimiliki serta luasnya cakupan bidang lingkungan hidup.

Praktik hukum yang terlalu berpihak kepada investasi dan mengabaikan hak masyarakat adat, pada akhirnya justru akan memberi ancaman bagi lingkungan hidup dan masyarakat lokal. Kekayaan alam yang dikeruk dengan begitu masif dan penyingkiran hak hidup masyarakat akan meningkatkan eskalasi konflik.

Melalui UU Omnibus Law pemerintah secara nyata tengah memperparah bencana ekologis bagi kehidupan manusia ke depan. Masyarakat di Jambi benar-benar dalam bahaya.

Kita menyayangkan, pelemahan ekologis justru terjadi di saat kondisi lingkungan di Jambi tengah menghadapi segudang permasalahan serius.

Pemerintah semestinya sadar, bahwa yang perlu dilakukan saat ini adalah komitmen politik yang ramah lingkungan menuju pembangunan lestari dan berkelanjutan.(*)


Berita Terkait



add images