JAMBIUPDATE.CO, JAMBI-Raden Mattaher ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Penganugerahan gelar itu langsung dipimpin oleh Presiden Jokowi di Jakarta hari ini (10/11).
Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jambi, Irhas Fansuri, menjelaskan, Raden Mattaher merupakan seorang panglima perang Jambi yang terkenal dan sangat ditakuti oleh Belanda. Setelah wafatnya Sultan Thaha Syaifuddin pada tahun 1904, komando perlawanan terhadap Belanda di daerah Jambi berlanjut.
“Secara tidak langsung perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin melawan Belanda dilanjutkan oleh cucunya Raden Mattaher,” katanya kepada harian ini.
Perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mattaher sangat merepotkan Belanda. Karena perlawanan yang dilakukan dengan skema pasukan yang bergerak dan menyerang secara tiba-tiba, tanpa bisa diprediksi oleh pihak pasukan Belanda.
BACA JUGA: Raden Mattaher Berhasil Bakar Loji Belanda di Jebus
“Raden Mattaher, oleh masyarakat Jambi begitu dikenal dengan sebutan Singo Kumpeh. Beliau diberi gelar sebagai singo kumpeh karena keberhasilannya menyerang kapal Belanda pada tahun 1902 di Tanjung Gedang Sungai Alai dan Muaro Sungai Kumpeh,” jelasnya.
Penyerangan di Tanjung Gedang Sungai Alai dilakukan terhadap 30 jukung yang berisi serdadu Belanda. Jukung tersebut berhasil ditenggelamkan dan semua pasukan Belanda tewas. Setelah bertempur di Sungai Alai pasukan Raden Mataher bergerak menuju Jambi untuk menyerang kedudukan Belanda di Muaro Kumpeh.
“Penyerangan yang dilakukan oleh Raden Mattaher di Muaro Kumpeh merupakan penyerangan terhadap kapal perang yang baru datang dari Palembang. Keberhasilan penyerangannya merupakan berkat jasa seorang juru mesin kapal yang bernama Wancik. Wancik berupaya merusak mesin kapal perang Belanda tersebut sehingga tidak mampu berlayar,” jelasnya.
Ditambahkan Irhas, Raden Mataher kerapkali berhasil meloloskan diri dari setiap sergapan pasukan Belanda. Raden Mattaher disebut sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukkan, seorang lawan yang gesit dan ditakuti. Untuk menaklukkan Raden Mattaher, pemerintah Belanda memerintahkan pasukan marsose melalui Residen Palembang untuk menangkap Raden Mattaher hidup atau mati.
“Pengejaran terhadap Raden Mattaher pun ditingkatkan oleh Belanda. Pada akhirnya dengan bantuan seorang kapten melayu kedudukan Raden Mattaher di Muaro Jambi diserang dan Raden Mattaher pun dilumpuhkan,” ujarnya.
Dijelaskan Irhas, Raden Mattaher juga merupakan sosok yang Patriotis dan Cerdas. Diceritakannya, pada abad ke-19 pengaruh barat semakin kuat pada masa liberal, dan dilanjutkan pada abad berikutnya dengan kebijakan politik etis oleh Belanda. Kekuasaan rezim liberal di Belanda membuat parlemen Belanda bisa mengintervensi negeri-negeri jajahannya. Mereka mendesak pemerintah kolonial untuk meningkatkan usaha pertanian, perkebunan dan hasil bumi di negeri jajahan termasuk Jambi.
Usaha-usaha pemerintahan Hindia Belanda dalam membangun perkebunan dan pertanian di Jambi seperti di Tanah Tumbuh, Muaro Bungo, Talang Maersai dan di Bangko melalui pembangunan dam (waduk) yang sangat membantu rakyat dalam pertanian. Selain itu, tanah-tanah rakyat di daerah yang kurang subur diupayakan untuk ditanam karet dan kelapa.
“Sebagian besar rakyat Jambi masih tetap mengalami penderitaan sebagai akibat dari adanya monopoli perdagangan dan pajak-pajak yang memberatkan dan kerja rodi dalam pembuatan jalan-jalan,” bebernya.
Dominasi Belanda terhadap masyarakat Jambi merupakan bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda terhadap masyarakat Jambi. Ketidakadilan ini menumbuhkan kesadaran pemimpin Jambi dan rakyat Jambi untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan masyarakat Jambi terhadap Belanda disadari dan bahkan dipemimpin langsung oleh Sultan Thaha Syaifuddin.
BACA JUGA: Raden Mattaher Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Begitu Proses Pengajuannya
“Sultan Thaha Syaifuddin sangat menyadari kelicikan Belanda dalam melakukan monopoli perdagangan di Jambi dengan perjanjian yang dibuatnya dengan para Sultan Jambi terdahulu. Dengan keberaniannya, rakyat Jambi di bawah pimpinan Sultan Thaha Syaifuddin berupaya menolak semua opsi perjanjian yang di tawarkan oleh Belanda. Seperti piagam Sungai Baung yang ditandatangani oleh ayahnya tanggal 14 September 1833, Perjanjian Tambahan tanggal 15 September 1834 dan perjanjian tanggal 21 April 1835,” katanya.
Penolakan dan pembatalan perjanjian ini menyebabkan pemerintah Hindia Belanda merasa terhina dan ingin memaksakan perjanjian baru dengan Sultan. Namun Sultan menolak perjanjian baru tersebut. Sehingga terjadilah pertempuran antara Belanda dengan rakyat Jambi. Raden Mataher merupakan salah satu panglima perang kakeknya Sultan Thaha Syaifuddin yang mendapat reaksi serangan bersenjata terhadap penolakan tersebut.
“Tokoh yang sangat penting ini mempunyai jiwa patriotik pantang menyerah. Menggunakan strategi dan taktik yang cerdas. Kepiawaian Raden Mattaher dalam memanfaatkan medan dan teritorial dalam berperang tentunya didukung oleh intelegensi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau adalah panglima perang yang cerdas dalam menjalankan strategi dan taktik untuk memenangkan setiap pertempuran,” ungkapnya.
Salah satu front Komando yang dibentuk oleh Sultan Thaha Syaifuddin yang dikamandoi oleh Raden Mattaher adalah dari muaro Tembesi ke Hilir Kumpeh, Muaro Sabak dan Tungkal. Raden Mattaher dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda dibantu oleh Raden Pamuk dan Raden Perang.
“Raden Mattaher sebagai Panglima Perang di daerah ini di amanatkan untuk memobilisasi kekuatan rakyat, meningkatkan pertahanan di wilayah yang di kuasai dan melakukan sabotase atau penyerangan secara tiba-tiba pada post-post atau patroli Belanda tampa menunggu kamando Sultan,” imbuhnya.
Disisi lain, suatu yang menarik untuk diketahui dari sosok Raden Mattaher adalah beliau begitu dekat dengan rakyatnya. Walaupun terlahir dari keluarga kerajaan akan tetapi beliau tidak memunculkan sifat elitis.
“Konsep ini lebih tepatnya disebut dengan sifat egaliter, melalui kategori norma tradisional, solidaritas dan partisipasi sebagai ideologi. Disini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian diwujudkan dalam berbagai mite, dan tradisi lisan yang menunjang ideologi tersebut,” katanya.
Raden Mattaher merupakan seorang pejuang tergolong pada konsep tersebut (egaliter) dan memiliki rasa cinta yang sangat besar terhadap rakyat Jambi. Hal ini terbukti dengan keputusan yang diambilnya ketika ada upaya untuk mengungsikan Raden Mattaher ke batu pahat, Malaysia.
Pada awal tahun 1907 para pemuka dusun Muaro Jambi dan sekitarnya termasuk para pengikutnya dan keluarganya melakukan musyawarah dan meminta Raden Mattaher untuk mengungsi ke Batu Pahat Malaya. Pada saat itu masyarakat telah menyiapkan perahu pengantar, uang ringgit, beberapa pengawal.
“Namun pada saat itu Raden Mattaher menolak untuk mengungsi dan memilih tetap tinggal di Jambi dan berjuang bersama rakyat melawan Belanda. Walaupun dalam keadaan terdesak dan membahayakan nyawanya,” katanya.
Perjuangan Raden Mataher membuktikan bahwa keinginan untuk tidak memberi kesempatan kepada Belanda untuk menjalankan pemerintahan Hindia Belanda di daerah Jambi. Tentunya benih perlawanan yang bersifat lokal ini menjadi bagian perlawanan nasional dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
“Keteladanan dari kepemimpinan Raden Mattaher seharusnya bagi pemimpin sekarang dan masa depan. Pemimpin yang mencintai rakyatnya diatas kepentingan pribadi, terlepas dari latar belakang keluarga kesultanan ataupun kelompok manapun. Egaliter yang dibuktikan dengan rakyat yang ikut dengan sukarela, loyal serta berjuang bersama mengangkat senjata dalam mengusir penjajah. Bukan hanya sekedar citra diri dengan kepentingan sesaat,” bebernya.
Peneliti Sejarah dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNP) Kepri, Dedi Arman menuliskan kisah pahlawan Jambi Itu lewat karyanya yang berjudul Raden Mattaher Pejuang Rakyat Jambi Melawan Kolonia.
Dalam karyanya, ia menuturkan Raden Mattaher adalah keturunan dari Sultan Thaha Saifuddin, pahlawan Nasional Jambi.
Raden Mattaher mendapat julukan Singa Kumpeh sejak melakukan peperangan melawan kolonial Belanda dan menyebabkan kematian Ratu Mas Saleha yang merupakan anak Raden Mattaher sendiri.
Sejak saat itu Raden Mattaher seolah mengamuk seperti Singa. Perlawanan demi perlawanan kemudian membuat Belanda menjuluki Raden Mattaher sebagai Singa Kumpeh.
Masyarakat Jambi mengenalinya sebagai bagian dari cerita rakyat yang berkembang.
Kisah itu sebagai berikut, sebagaimana dikutip sesuai dengan aslinya (Islami Amir dkk :1982).
“Negeri Jambi yang damai dan berdaulat tiba-tiba goncang dengan datangnya Belanda. Mula-mula memang Belanda menawarkan maksud-maksud ingin berkuasa melalui jalan perundingan. Tetapi setelah Sultan Taha, raja Jambi waktu itu,menolak, terjadilah paksaan-paksaan melalui kekerasan. Asap bedil mula terlihat dimana-mana. Pasukan Belanda menyerbu” tulis Dedi Arman dalam karyanya.
Saat itu Sultan Taha memanggil dan mengumpulkan panglima perang kerajaan Jambi. Maksud beliau untuk berunding bagaimana sebaiknya menghadapi Belanda. Bukankah usul Belanda telah ditolaknya?. Beliau tak hendak tunduk pada penja Belanda, panglima-panglima perang yang turut hadir dalam perundingan antara lain Raden Mattahir, Pangeran Tudek, Pangeran Ino Kertopati, dan Raden Usman.
“Raden Mattaher dalam perundingan itu mengatakan “Belanda akan menyerang negeri kita! Karena mereka tahu kita tak hendak tunduk pada mereka.”
Semua yang mendengar diam penuh pengertian.“Menurut hemat hamba,” katanya melanjutkan. “Kita harus menghadapi Belanda di Muara Jambi.” Sebut Arman
Pendapat dan usul Raden Mattahir disetujui. Musyawarah lalu menetapkan untuk tugas penghadangan tersebut dipercayakan kepada Raden Mattahir sendiri.
Beliau di dampingi pula oleh Raden Ino Kertopati, dan Panglima Tudek teman seperjuangan Raden Mattahir yang paling dekat.
Itulah nampaknya usaha Sultan Taha yang pertama sebagai taktik dan strategi untuk menentang kedatangan Belanda. Beliau tahu sekali pasukan Belanda kuat karena ditopang dengan peralatan yang lengkap. Tetapi beliau sudah bertekad untuk melawan yang kuat itu. Bagi beliau kedaulatan merupakan milik kerajaan yang tak dapat ditawar-tawar.
Kalau panggilan itu untuk mempertahankannya sudah tiba, apa pun pengorbanan akan diberikan. Siapa tahu kelak, nyawa Sultan sendiri menjadi taruhannya.
Raden Mattahir, Raden Ino Kertopati, dan Panglimo Tudek telah mengetahui Belanda akan segera menyerang Jambi. Tiga panglima perang ini bersama-sama dengan anak buahnya segera menuju Muara Jambi. Tempat ini sebagai titik mula dijadikan ajang pertempuran dalam tahun 1900. Memang tahun ini mula pertama Belanda memasuki Jambi.
Pertempuran segera pecah, Raden Mattahir, Raden Ino Kertopati, dan Panglimo Tudek diikuti anak buah mereka dengan menaiki dendang meluncur dengan deras menyebut iring-iringan pasukan Belanda. Begitu sampai mereka berloncatan ke dalam jukung.
Pekikan Allahuakbar berkumandang bersipon gang melantun-lantun dalam udara subuh di desa Muara Jambi. Pasukan Raden Mattahir mengamuk dengan dahsyat. Semua tentara Belanda mereka binasakan.
Serangan Belanda gagal dengan korban yang cukup besar. Dengan kegagalan ini bukan berarti Belanda menghentikan upaya sama sekali. Sebulan kemudian datang lagi iring-iringan tentara Belanda jauh lebih banyak jumlahnya dari yang datang pertama. Pertempuran sengit terjadi sepanjang sungai yang terentang mulai pinggir laut sampai ke kota Jambi. Tentara Belanda banyak yang dibinasakan, tetapi Jambi dapat mereka duduki. (wan/scn)
