iklan Ribuan masa Mayday 2019 hadir 12 element serikat pekerja (Buruh), di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, (1/5/2019). Seluruh kelompok element memberikan aspirasi dari seluruh buruh yang hadir di hari Mayday 2019, seluruh masa di brikade keamanan di depan Bundaran Patung Kuda, masa meminta pemerintah agar menerima permintaan lima tuntutan di hari Mayday 2019.
Ribuan masa Mayday 2019 hadir 12 element serikat pekerja (Buruh), di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, (1/5/2019). Seluruh kelompok element memberikan aspirasi dari seluruh buruh yang hadir di hari Mayday 2019, seluruh masa di brikade keamanan di depan Bundaran Patung Kuda, masa meminta pemerintah agar menerima permintaan lima tuntutan di hari Mayday 2019. (Faisal R Syam / FAJAR INDONESIA NETWORK)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI) menegaskan menolak skema pemberian upah per jam. Pasalnya ratusan juga pekerja di Indonesia akan dirugikan lantaran upah minimum dan jaminan sosial bagi pekerja dihilangkan.

“Kalau ditetapkan tidak ada lagi upah minimum, apalagi aturan minimum jam kerja juga belum jelas bakal ditetapkan atau tidak, kemudian jaminan sosial bisa otomatis hilang. Nah pekerja yang dirugikan,” ujar Presiden KSPI, Said Iqbal di Jakarta, kemarin (28/12).

Dia menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja formal berkisar 54,7 juta orang. Sementara penerima upah minum menurut dewan pengupahan sebesar 70 persen.

“Merujuk data-data tersebut, hampir 40 jutaan pekerja formal bakal terdampak. Sedangkan di luar informal bisa sekitar 70 jutaan. Jadi hampir 100 juta lebih orang bisa terdampak dengan sistem upah per jam ini,” kata dia.

Oleh karena itu, dia kembali menegaskan, apabila aturan tersebut tetap diberlakukan, pihaknya bakal menempuh jalur hukum. Pekerja akan memperjuangkan pembatalan skema upah per jam.

“Kita akan melayangkan gugatan, selanjutnya uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU itu. Langkah lain, menekan pemerintah dan DPR agar tidak mengesahkan UU tersebut,” tutur dia.

Lanjut dia, bahwa prinsip upah minimum adalah sebagai safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak obsulit miskin. Hal itu sebagaimana terkandung dalam konvensi ILO dan UU Nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan.

“Jika ini diterapkan, pengusaha bisa seenaknya saja secarfa sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh,” ucap dia.

Direktur Riset Centre of Reform On Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, kebijakan upah per jam akan mendorong pekerja menjadi produktif dan akan memuaskan pelaku usaha atas hasil yang meningkat.

“Pekerja menjadi menghargai waktu. Karena dihitung berdasarkan jam kerja. Kalay jam kerjanya kurang akan berkurang upahnya,” ujar Piter.

Sementara itu, sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pun meminta semua pihak bersabar, pemerintah tengah mendapatkan masukan dari berbagai pihak.

“Prinsipnya gini. Untuk omnibus law memang diminta untuk diinventarisir. Kami diminta untuk mendengar dari kedua belah pihak, dari pihak pengusaha dan dari pihak buruh/pekerja. Sabar ya, pada saatnya akan disampaikan,” ujar dia.

Adapun perahan RUU Omnibus Law ke DPR ditargetkan pada akhir 2019, namun kemudian molor menjadi awal tahun depan.

(din/fin)

 


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images