iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Pixabay)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Wacana lembaga pengkajian yang diusulkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan evaluasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung harus netral. Meski peluangnya tipis, prinsip keterbukaan dan tanggung jawab kajian harus berdasar, bukan sekadar titipan.

Pengamat Politik Ujang Komarudin mengatakan, untuk mewujudkan netralitas dalam sebuah kajian sangat sulit. Bukan cuma lembaga kredibel, institusi akademis pun diragukan keberpihakannya.

Ia menuturkan, pemerintah dalam menggandeng sejumlah lembaga institusi dalam melakukan kajian bisa dipastikan untuk menjadi dasar jika pilkada langsung memiliki sejumlah kekurangan. “Sejatinya mereka itu kan dibayar melakukan kajian oleh pemerintah. Sehingga sangat sulit berada di posisi tengah. Terlebih lagi, isu ini sudah mencuat,” kata akademisi Universitas Islam Al Azhar tersebut.

Sebelumnya, Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan lebih banyak lembaga riset yang digunakan akan lebih bagus dan hasilnya bisa dapat dipercaya. Dia mengatakan jangan sampai nanti lembaga yang melakukan evaluasi adalah lembaga yang abal-abal. Apalagi, lembaga yang disponsori. Sehingga hasilnya bisa diatur. “Saya kira semakin banyak semakin bagus. Tetapi yang kredibel di mata publik. Supaya objektif dan tidak pakai sponsor. Kan banyak penelitian pakai sponsor sebelum penelitian dilakukan kesimpulan sudah ada,” jelas Bahtiar.

Dia mengatakan evaluasi itu diperlukan agar hasil dari Pilkada sesuai dengan keinginan masyarakat. Bahtiar menyebut tujuan utama dari Pilkada adalah menghasilkan pimpinan daerah yang menyejahterakan masyarakat. “Ujungnya bagaimana menghasilkan pemimpin daerah yang mampu mempercepat kesejahteraan masyarakat,” paparnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menegaskan Kemendagri tidak pernah mendorong kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.

Akmal mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD tingkat II atau I hanya dilakukan saat Orde Baru berkuasa. “Kami tidak pernah mendorong oleh DPRD yang kami katakan buatlah Pilkada langsung yang asimetris,” jelas Akmal. Ia menampik pihaknya tidak pernah menggagas Pilkada Asimetris. Sebab, Indonesia juga sudah menggunakan model Pilkada ini. Seperti DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

(khf/fin/rh)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images