iklan

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Anggota Komisi VI Fraksi PDI-P I Nyoman Dhamantra sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan izin impor bawang putih tahun 2019. Nyoman diduga menerima suap bersama-sama dengan orang kepercayaannya, Mirawati Basri dan seorang swasta bernama Elviyanto.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, selain Nyoman, KPK juga menetapkan tiga tersangka lain. Ketiganya berasal dari kalangan swasta masing-masing Chandry Suanda alias Afung, Doddy Wahyudi, dan Zulfikar sebagai pemberi suap.

Keenamnya merupakan pihak-pihak yang berhasil diamankan Tim Penindakan KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Jakarta pada Rabu (7/8) dan Kamis (8/8). Selain mereka, KPK juga menangkap tujuh orang lainnya yaitu swasta Lalan Sukma, swasta Nino, swasta Syafiq, swasta Made Ayu, sopir berinisial WSN dan MAT, serta Sekretaris Money Changer Indocev Ulfa.

KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan enam orang sebagai tersangka, ujar Agus dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (8/8).

Chandry, Doddy dan Afung diduga menyuap Nyoman, Mirawati, dan Zulfikar senilai Rp3,6 miliar terkait pengurusan izin impor 20 ribu ton bawang putih. Nyoman dan Zulfikar juga dijanjikan menerima komitmen fee masing-masing Rp1.700-1.800 serta Rp50 untuk setiap kilogram bawang putih yang diimpor.

Dalam konstruksi perkara, terungkap Chandry merupakan pemilik PT Cahaya Sakti Agro (CSA) yang bergerak di bidang pertanian. Perusahaan tersebut diduga memiliki kepentingan dalam mendapatkan kuota impor bawang putih dalam perkara ini.

Chandry kemudian diduga bekerja sama dengan Doddy untuk mengurus izin impor bawang putih tahun 2019 berupa Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan. Sebelumnya, Doddy sempat menawarkan bantuan serta menyampaikan memiliki jalur pengurusan lain.

Lantaran proses pengurusan yang tidak kunjung selesai, Doddy berusaha mencari kenalan yang dapat menghubungkannya dengan pihak-pihak yang dapat membantu pengurusan izin tersebut. Doddy lalu berkenalan dengan Zulfikar yang memiliki kolega dan dianggap berpengaruh untuk pengurusan izin.

ZFK (Zulfikar) memiliki koneksi dengan MBS (Mirawati) dan ELV (Elviyanto) pihak swasta yang diketahui dekat dengan INY (Nyoman), Anggota Komisi VI DPR RI, jelas Agus.

Setelah itu, Doddy, Mirawati, Elviyanto, dan Nyoman melakukan serangkaian pertemuan dalam rangka pembahasan pengurusan perizinan impor bawang putih dan kesepakatan fee. Dari pertemuan-pertemuan tersebut, muncul permintaan fee dari Nyoman melalui Mirawati.

Angka yang semula disepakati pada awalnya adalah Rp3,6 miliar serta komitmen fee Rp1.700-1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor. Komitmen fee tersebut akan digunakan untuk mengurus perizinan kuota impor 20 ribu ton bawang putih untuk beberapa perusahaan, termasuk milik Chandry.

Dikarenakan perusahaan-perusahaan yang membeli kuota dari Chandry belum memberikan pembayaran, ia tidak memiliki uang untuk membayar komitmen fee tersebut. Chandry lalu meminta bantuan Zulfikar memberi pinjaman.

Atas pinjamannya itu, Zulfikar akan mendapatkan bunga dari pinjaman yang diberikan sebesar Rp100 juta per bulan dan komitmen fee Rp50 per kilogram bawang putih yang diimpor. Dari pinjaman Rp3,6 miliar tersebut, telah direalisasi sebesar Rp2,1 miliar, sambung Agus.

Setelah menyepakati metode penyerahan, pada 7 Agustus 2019 sekitar pukul 14.00 siang, Zulfikar mentransfer Rp2,1 miliar ke Doddy, lalu Doddy mentransfer Rp2 miliar ke rekening kasir money changer milik Nyoman. Uang tersebut direncanakan untuk digunakan mengurus SPI.

Sedangkan Rp100 juta sisanya masih berada di rekening Doddy. Uang tersebut rencananya digunakan untuk operasional pengurusan izin. Saat ini semua rekening dalam kondisi diblokir oleh KPK, pungkas Agus.

Diduga, uang Rp2 miliar tersebut juga digunakan untuk mengunci kuota impor yang diurus. Dalam kasus ini, teridentifikasi istilah Lock kuota.

Atas perbuatannya, Chandry, Doddy, dan Zulfikar disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Nyoman, Mirawati, dan Elviyanto disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(riz/fin/tgr)


Sumber: fin.co.id

Berita Terkait



add images