Pemanfaatan energi panas matahari (solar thermal energy) di Indonesia belum maksimal. Umumnya hanya dipakai untuk mesin pemanas atau menjadi sumber aliran listrik. Tetapi, di tangan dosen Fakultas Teknik UI Prof Muhammad Idrus Alhamid dan tim, sinar matahari bisa menjadi AC ramah lingkungan.
Pelataran kompleks Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI) di Depok, Jawa Barat, sekarang terlihat sesak. Sebab, seperangkat solar thermal cooling system (STCS) berukuran jumbo didirikan di areal itu. Total lahan yang dipakai guna menempatkan peralatan untuk menangkap sinar matahari itu kira-kira seukuran lapangan bola voli.
Komponen utama peralatan tersebut berada di rooftop Manufacturing Research Center (MRC), gedung anyar berlantai enam. Peralatan itu didesain untuk menangkap dan menyimpan panas sinar matahari.
Menurut Prof Muhammad Idrus Alhamid, koordinator tim pembuat, alat yang diletakkan di lantai paling atas gedung MRC itu bernama solar heat panel. Komponennya terdiri atas rangkaian tabung seukuran betis orang dewasa dengan panjang sekitar satu meter. Tabung-tabung itu disusun menjadi 61 rangkaian. Setiap rangkaian berisi 16 tabung kaca. Jadi, total tabung penangkap energi matahari itu berjumlah 61 x 16 = 976 buah. "Di setiap tengah tabung kosong ini ada tembaganya," jelas Idrus ketika ditemui Jawa Pos di ruang kerjanya, Senin (27/1).
Tembaga itu berfungsi menangkap panas matahari dan menghantarkannya ke air yang mengalir di ujung tabung. Dengan jumlah tabung yang begitu banyak, suhu air yang mengalir di solar heat panel bisa mencapai 90 derajat Celsius. Namun, derajat panas tersebut bergantung kondisi cuaca hari itu.
Misalnya, cuaca di kampus UI Depok kemarin cenderung mendung. Energi panas matahari yang berhasil diserap alat buatan Prof Idrus dkk pun tidak bisa maksimal. Rata-rata energi panas matahari yang bisa ditangkap hanya setara 200 watt, bahkan bisa kurang. Sementara itu, panas air yang mengalir juga tidak bisa mencapai titik optimal, yakni 90 derajat Celsius.
--batas--
Idrus menjelaskan, jika matahari sedang terik, energi panas yang berhasil ditangkap bisa setara 800 watt listrik. Air yang mengalir di komponen itu bisa mencapai titik panas 90 derajat Celsius.
Guru besar kelahiran kawasan Ampel, Surabaya, itu mengungkapkan, air yang sudah teraliri energi matahari akan dipompa turun dan dialirkan ke storage tank. Proses berikutnya, air panas tersebut dialirkan ke solar absorption chiller (SAC). Melalui gerakan mekanik, alat tersebut akan menghasilkan semburan udara dingin dari air yang dipanaskan di atas atap tadi.
Idrus menambahkan, SAC didatangkan ke Indonesia secara utuh dari Jepang. Alat yang bisa menghemat pengeluaran listrik untuk sistem pendingin udara itu diproduksi Kawasaki Thermal Engineering (KTE), Jepang. "Proyek ini merupakan kerja sama dengan banyak pihak, termasuk dengan pemerintah Jepang dan Waseda University," ujarnya.
Menurut Idrus, komponen SAC berfungsi sebagai pengganti kompresor dalam teknologi pendingin udara (AC) konvensional. Kompresor pada AC merupakan komponen yang paling banyak menyedot listrik. "Ketika kompresor itu diganti teknologi yang ramah lingkungan ini, penggunaan listrik bisa dipotong hingga 50 persen," ujar alumnus SMAN 8 Surabaya itu.
Memang, diakui, STCS tidak bisa lepas 100 persen dari energi listrik. Sebab, listrik masih dibutuhkan untuk menghidupkan pompa air yang menjalankan fungsi sirkulasi air dari dan menuju solar heat panel.
Idrus menjelaskan, setelah diolah di dalam SAC, air panas itu dialirkan ke gedung-gedung atau ruangan yang ingin didinginkan suhunya. Alat itu bisa menurunkan suhu udara ruangan hingga 16 derajat Celsius.
Misalnya, seperangkat STCS di UI itu bisa mendinginkan separo gedung MRC yang terdiri atas enam lantai. Jawa Pos sempat mengecek kebenaran teori tersebut dengan masuk mulai lantai 1 hingga lantai 6. Rasanya memang sejuk, bergantung pengaturan suhunya. Semburan udara sejuk itu dikeluarkan dari chilled water sebagai pengganti komponen AC indoor yang sering ditemukan di rumah-rumah atau perkantoran.
Idrus menghitung, jika menggunakan energi listrik penuh untuk AC dan penerangan, gedung MRC menghasilkan emisi gas buang CO2 hingga 183 ton per tahun. Tetapi, dengan teknologi STCS, emisi CO2 yang dihasilkan bisa direduksi hingga menjadi 141 ton per tahun. "Ini baru perhitungan satu gedung yang menggunakan STCS. Bayangkan jika gedung-gedung bertingkat di Jakarta menggunakan STCS," paparnya.
Dia optimistis teknologi STCS bisa membuat upaya pelestarian lingkungan semakin terjaga. "Bersama tim dari instansi lain, saya terus mengkaji dan mengembangkan pilot project STCS ini sejak dua tahun lalu," katanya.
Tapi, baru akhir 2013 perlengkapan STCS benar-benar bisa dioperasikan. Tak heran jika karya inovatif itu membuat penasaran banyak kalangan. Termasuk para peneliti dari berbagai perguruan tinggi yang tertarik mempelajari teknologinya.
Selain mampu mereduksi gas buang CO2, teknologi itu bisa menekan potensi polusi udara. Semakin sedikit suplai listrik yang dipakai, semakin sedikit pula beban kerja pembangkit listrik yang umumnya menggunakan sumber energi tidak ramah lingkungan.
Bagaimana jika sinar matahari tidak maksimal seperti pada hari-hari musim hujan saat ini" Idrus menjawab dengan tenang. "Kami sudah siapkan backup jika panas matahari tidak optimal," tuturnya.
Yakni, memanfaatkan pembakaran gas LPG atau CNG (compressed natural gas). Gas yang dibakar itu bisa menggantikan energi matahari yang bisa dimanfaatkan sebagai penggerak SAC. Dengan cara begitu, udara di ruangan tetap bisa dingin.
Ayah Abdurrahman, Firdaus, Abdullah, dan Abdulkadir itu menegaskan, dirinya tertarik meneliti solar energy sejak 1977. Tepatnya ketika duduk sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, UI. Saat itu bersama kawannya, Raldiartono, Idrus memenangi Lomba Karya Teknik 1997 tingkat senat mahasiswa FT UI.
Rancangannya berupa sebuah perlengkapan pemanas air bernama cylindrical parabolic solar collector. Alat itu dibuat dari tripleks dan kayu pohon nangka. Reflektornya berbahan aluminium setebal 0,5 mm yang digosok dengan langsol (autosol atau yang dikenal dengan sebutan batu hijau) serta minyak tanah. "Bangga sekali rasanya karya kami menang," kata suami Faridah Aljufri itu.
Menurut dia, matahari adalah benda, simbol, dan makna yang tidak akan habis dimanfaatkan. Dalam kajian akademis, energi matahari bisa dimanfaatkan sebagai sumber listrik melalui penggunaan PV (photovoltaic) atau panas. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, energi matahari itu juga diharapkan bisa dimanfaatkan untuk sistem pendinginan.
Selama ini masyarakat menikmati pendingin udara dengan sistem kompresi uap (vapour compression) seperti yang digunakan pada AC split, AC window, kulkas, dan sejenisnya. Cara itu tidak hemat energi karena menggunakan bantuan kompresor yang menyedot energi listrik cukup besar.
Terkait dengan karya teknologi terbarunya itu, Idrus sengaja memperkenalkan kepada publik sebagai pertanggungjawaban atas profesinya sebagai akademisi dan peneliti. "Ini lho ada alat yang bisa dimanfaatkan masyarakat dan ramah lingkungan. Silakan bila ada yang ingin memanfaatkan," ujarnya.
Penulis : HILMI SETIAWAN, JPNN