Mari kita menalar kata “UjianNasional” agar kata tersebut menjadi elegan diucapan dan di dengar serta tidakterjebak dengan eforia “diuji”. Karena memang kata tersebut mengandung dua variable ”bias dan tidakbisa” lalu muncul adjust lulus atau tidak lulus, tentu hal ini akan menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian peserta didik. Tidak heran momen ini menjadi suasana khusus seperti perjuangan hidup dan mati.
Mari kata “ujian nasional” kita setarakan dengan kata “EvaluasiNasional” karena memang kata ini lebih tepat. Mengingat UN itu sudah dibagi 40% wewenang sekolah, 60% wewenang pemerintah pusat. Wewenang tersebut tentu atas pertimbangan keseimbangan azaz berkaitan dengan prinsip-prinsip evaluasi.
Makna wewenaang sekolah 40 %
Wewenang tersebut sebenanya perlu dicermati secara cerdik, karena sekolah bisamemanfaatkan sepenuhnya untuk member nilai 9 bahkan 10 dengan kreteria dan aspek yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya karak terbaik, mengapa demikian ? Karena soal UN selalu dimasalahkan dari aspek kognitif, afektif, psikomotorik. Dalam bentuk soal tertulis dan praktik yang berkaitan dengan kompetensi pembelajaran yang dikaitkan dengan keputusan lulus tidak lulus, lalu aspek budi pekerti mana? Tentu tidak ada dalam UN maka aspek yang tidak terdapat pada UN dapat kita gunakan sehingga menjadi makna evaluasi nasional. Pertanyaanya apakah boleh? Ya tentu boleh karena memang kreteria sekolah yang disepakati oleh majelis guru. Peserta didik yang daya fikirnya kurang tapi tindak tanduk dan sikapnya selama menempuh proses pendidikan sangat baik kenapatidak? Karena memang itu yang menjadi penilaiankita.
Contoh “Sipulan” nilai sekolah 9 hasil UN 4 maka diperoleh nilai 6,0 (0,4 x 9 + 0,6 x 4) maka sipolan lulus UN sesuai kreteria minimal lulus 5,5. Sebaliknya bila Sipolan nilai sekolah 9 dan hasil UN 3 maka diperoleh nilai5,4 (0,4 x 9 + 0,6 x3) maka Sipolan tidak lulus. Ilustrasi tersebut mengarahkan kepada siswa untuk berjuang lulus hanya memerlukan nilai 4 saja, bagaimana kali nilaisekolah 9,9 ? tentudalam UN cukupbuerjuang di angka 3 saja sudah lulus, dengan demikian mengapa takut tidak lulus?
Makna wewenang pemerintah 60%
Sesungguhnya kalo masalah UN itu hanya mengejar lulus tentu bukan hal yang sulit
Dengan catatan riwayat proses pembelajaran sudah diikuti dengan baik dan benar, saya justru khawatir jangan-jangan yang takut itu menyadari kalo proses pembelajarannya memang lebih banyak tidak benarnya, mungkin dari segi peserta didik itu sendiri, mungkin dari segi sumberdaya guru, mungkin dari sarana prasarana, atau mungkin dari segi manajemen sekolah. Akan tetapi bila kita cermati kompetensi yang di UN kan adalah mata pelajaran yang sudahbertahun-tahun di laksanakan, apalagi setiap 6 bulan sekali sudah dilakukan secara rutin oleh sekolah, tentu tidak ada lagi yang dikhawatirkan secara berlebihan. Oleh sebab itu kembali pada azaz suatu paket kegiatan dalam hal ini proses pendidikan tentu pemerintah berkewajiban melaksanakan evaluasi, salah satu alat evaluasinya dengan UN, mengapa masih ada pro kontra?
(penulis adalah Kepsek SMKN 2 Kota Jambi)
Mari kata “ujian nasional” kita setarakan dengan kata “EvaluasiNasional” karena memang kata ini lebih tepat. Mengingat UN itu sudah dibagi 40% wewenang sekolah, 60% wewenang pemerintah pusat. Wewenang tersebut tentu atas pertimbangan keseimbangan azaz berkaitan dengan prinsip-prinsip evaluasi.
Makna wewenaang sekolah 40 %
Wewenang tersebut sebenanya perlu dicermati secara cerdik, karena sekolah bisamemanfaatkan sepenuhnya untuk member nilai 9 bahkan 10 dengan kreteria dan aspek yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya karak terbaik, mengapa demikian ? Karena soal UN selalu dimasalahkan dari aspek kognitif, afektif, psikomotorik. Dalam bentuk soal tertulis dan praktik yang berkaitan dengan kompetensi pembelajaran yang dikaitkan dengan keputusan lulus tidak lulus, lalu aspek budi pekerti mana? Tentu tidak ada dalam UN maka aspek yang tidak terdapat pada UN dapat kita gunakan sehingga menjadi makna evaluasi nasional. Pertanyaanya apakah boleh? Ya tentu boleh karena memang kreteria sekolah yang disepakati oleh majelis guru. Peserta didik yang daya fikirnya kurang tapi tindak tanduk dan sikapnya selama menempuh proses pendidikan sangat baik kenapatidak? Karena memang itu yang menjadi penilaiankita.
Contoh “Sipulan” nilai sekolah 9 hasil UN 4 maka diperoleh nilai 6,0 (0,4 x 9 + 0,6 x 4) maka sipolan lulus UN sesuai kreteria minimal lulus 5,5. Sebaliknya bila Sipolan nilai sekolah 9 dan hasil UN 3 maka diperoleh nilai5,4 (0,4 x 9 + 0,6 x3) maka Sipolan tidak lulus. Ilustrasi tersebut mengarahkan kepada siswa untuk berjuang lulus hanya memerlukan nilai 4 saja, bagaimana kali nilaisekolah 9,9 ? tentudalam UN cukupbuerjuang di angka 3 saja sudah lulus, dengan demikian mengapa takut tidak lulus?
Makna wewenang pemerintah 60%
Sesungguhnya kalo masalah UN itu hanya mengejar lulus tentu bukan hal yang sulit
Dengan catatan riwayat proses pembelajaran sudah diikuti dengan baik dan benar, saya justru khawatir jangan-jangan yang takut itu menyadari kalo proses pembelajarannya memang lebih banyak tidak benarnya, mungkin dari segi peserta didik itu sendiri, mungkin dari segi sumberdaya guru, mungkin dari sarana prasarana, atau mungkin dari segi manajemen sekolah. Akan tetapi bila kita cermati kompetensi yang di UN kan adalah mata pelajaran yang sudahbertahun-tahun di laksanakan, apalagi setiap 6 bulan sekali sudah dilakukan secara rutin oleh sekolah, tentu tidak ada lagi yang dikhawatirkan secara berlebihan. Oleh sebab itu kembali pada azaz suatu paket kegiatan dalam hal ini proses pendidikan tentu pemerintah berkewajiban melaksanakan evaluasi, salah satu alat evaluasinya dengan UN, mengapa masih ada pro kontra?
(penulis adalah Kepsek SMKN 2 Kota Jambi)