Oleh : Noviardi Ferzi
Fakta paling mendasar yang harus diakui secara terbuka adalah bahwa hingga hari ini Provinsi Jambi belum memiliki pelabuhan samudera (deep sea port) dan belum memiliki kawasan industri hilir yang terbangun serta berfungsi efektif.
Aktivitas ekspor komoditas Jambi masih bergantung pada pelabuhan di provinsi tetangga, sementara kegiatan industri pengolahan berskala besar belum menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Kondisi ini menempatkan Jambi dalam posisi struktural sebagai wilayah hinterland, bukan sebagai simpul utama produksi dan distribusi dalam sistem ekonomi regional Sumatera.
BACA JUGA: Pertamina Patra Niaga Pastikan Distribusi dan Ketersediaan BBM di Kabupaten Bungo
Situasi tersebut tercermin jelas dalam data ekonomi Jambi saat ini. Pertumbuhan ekonomi Jambi sepanjang 2024 hingga 2025 berada pada kisaran 4,5–5 persen, relatif stabil tetapi tidak menunjukkan percepatan berarti. PDRB per kapita Jambi masih berada di bawah rata-rata nasional dan tertinggal dari provinsi tetangga seperti Riau dan Sumatera Selatan.
Selain itu Struktur PDRB Jambi tetap didominasi sektor primer pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, dengan kontribusi industri pengolahan yang kecil dan stagnan. Artinya, pertumbuhan yang terjadi lebih didorong oleh peningkatan volume produksi dan konsumsi, bukan oleh kenaikan produktivitas dan nilai tambah.
BACA JUGA: Digelar Sederhana, Mardiono Buka Muswil PPP Jambi
Dalam perspektif teori ekonomi wilayah, kondisi ini bukan anomali, melainkan konsekuensi logis dari absennya infrastruktur strategis. Teori growth pole (Perroux) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi akan terkonsentrasi pada wilayah yang memiliki industri inti dan infrastruktur kunci seperti pelabuhan dan kawasan industri.
Daerah yang tidak memilikinya akan berfungsi sebagai pemasok bahan mentah dan tenaga kerja bagi pusat pertumbuhan. Teori transformasi struktural ala Kuznets dan Chenery juga menegaskan bahwa tanpa pergeseran dari sektor primer ke industri pengolahan, pertumbuhan ekonomi akan bersifat dangkal dan sulit berkelanjutan.
BACA JUGA: Reses Fasha di Sengeti, Warga Keluhkan Soal Gas 3 Kg dan Tanah Pertamina di Sengeti
Sementara itu, teori new economic geography (Krugman) menunjukkan bahwa wilayah dengan biaya logistik rendah dan aglomerasi industri akan menarik modal dan tenaga kerja terampil secara kumulatif, sedangkan wilayah yang tertinggal infrastruktur akan mengalami arus keluar sumber daya produktif atau backwash effect.
Berbagai penelitian ilmiah dalam sepuluh tahun terakhir memperkuat kesimpulan tersebut dalam konteks Jambi. Studi-studi menunjukkan bahwa investasi dan ekspor memang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Jambi, namun investasi yang masuk didominasi sektor ekstraktif dan belum mampu mendorong industrialisasi dan peningkatan nilai tambah. Ketimpangan pembangunan intra-provinsi juga tetap tinggi, menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terdistribusi secara merata dan tidak cukup kuat untuk mengangkat kesejahteraan secara luas. Temuan-temuan ini konsisten dengan literatur ekonomi pembangunan yang menyatakan bahwa ketergantungan pada komoditas primer tanpa hilirisasi akan menjerumuskan daerah pada commodity dependence trap.
