iklan Cerita Eko Suprayitno, Tempati Rumah Sejak 1967, Tiba-tiba Dinyatakan Masuk Zona Merah Pertamina
Cerita Eko Suprayitno, Tempati Rumah Sejak 1967, Tiba-tiba Dinyatakan Masuk Zona Merah Pertamina

DISUATU sore yang tenang, angin berhembus lembut di teras rumah Eko Suprayitno. Laki-laki berusia 74 tahun itu baru saja pulang dari salat Ashar ketika ia mempersilakan seorang wartawan Jambi Ekspres (Induk Jambi Update) duduk di kursi besi yang sudah ia pakai sejak puluhan tahun silam. Dari tempat itu, ia bisa melihat masjid di sisi kanan pompa Pertamina, tempat ia tumbuh dari kecil. 

Tak ada yang berubah banyak kecuali satu hal yang kini membuat napasnya terasa sesak, rumah dan tanah yang ia tempati sejak 1967, tiba-tiba dinyatakan masuk zona merah Pertamina.

BACA JUGA: Terkait Konflik Zona Merah Pertamina, DPRD Kota Jambi Bakal Segera Bentuk Pansus

“Empat sertifikat kami ada, semuanya sah. Tapi semua dianggap berada di dalam kawasan Pertamina,” ujarnya pelan, sambil membuka lembar dokumen berusia puluhan tahun, termasuk bukti bayar PBB. 

Suprayitno lahir di Kenali Asam pada 1951. Ia tumbuh melihat deretan pohon karet, jalan tanah dan belukar, dan beberapa sumur minyak Pertamina yang jaraknya ratusan meter dari rumah-rumah warga. Salah satu sumur di depan rumah nya itu dibangun saat ia masih berusia lima tahun.

Namun pada 1967, sebuah keputusan Pemerintah Kabupaten Batanghari mengubah nasib masyarakat setempat. Saat itu, pemerintah menagih pajak bumi dan bangunan kepada Pertamina untuk lahan-lahan yang dinilai berada di bawah penguasaan perusahaan migas tersebut. Pertamina keberatan. Anggaran tidak cukup.

BACA JUGA: Kenali Asam Paling Banyak, Ini Jumlah Bidang Tanah di Jambi yang Disebut Masuk Zona Merah Pertamina

Sebuah tim dibentuk Pemerintah Batanghari disebut tim A. Audit dilakukan, yang kesimpulannya sebagian lahan itu dinyatakan terlantar, termasuk kawasan pemukiman rakyat.

Status “terlantar” itulah yang membuka peluang bagi masyarakat untuk mengurus sertifikat hak milik. Pemerintah daerah mengabulkan, karena dari situlah pendapatan daerah bisa tetap berputar. Sejak saat itu, warga membayar pajak, membangun rumah, mendirikan keluarga, dan menjalani hidup seperti masyarakat pada umumnya tanpa gangguan.

“Tidak ada masalah sama sekali, dari tahun 1967 sampai 2024. Tidak pernah,” kata Suprayitno.

BACA JUGA: Walikota Maulana Kecewa, Pertamina EP Tak Hadir Saat Audiensi Bersama Warga Terkait Zona Merah

Suasananya berubah cepat, seperti petir di langit cerah. Empat bulan terakhir, warga Kenali Asam mendapati kenyataan pahit, lahan mereka dinyatakan masuk zona merah Pertamina.

Tidak ada surat pemberitahuan. Tidak ada sosialisasi. Tidak ada dialog. Status itu tiba-tiba muncul ketika beberapa warga mengurus pemecahan sertifikat di BPN Kota Jambi.

Ditolak. Satu alasan sederhana, tapi menghentak. “Wilayah Anda masuk zona merah Pertamina.”

Sejak saat itu, roda kehidupan yang biasanya lancar tiba-tiba macet di titik paling krusial, warga tak bisa menjual tanah. Tidak bisa mengagunkan sertifikat untuk modal usaha. Tidak bisa memecah sertifikat untuk warisan. Tidak bisa melakukan proses legal apa pun.

Sertifikat yang selama puluhan tahun menjadi bukti sah kepemilikan kini seperti kertas tanpa nilai.


Berita Terkait



add images