Oleh: Herri Novealdi
DALAM diskursus publik, keberadaan wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seringkali dianggap kabur. Masyarakat awam dan bahkan oknum tertentu kerap menyamaratakan peran keduanya.
Padahal, jika ditelisik dari landasan hukum, etika profesi, hingga ruang lingkup kerja, jelas bahwa wartawan dan LSM adalah dua entitas berbeda. Wartawan bukanlah penggugat. Wartawan adalah pengungkap fakta dan kebenaran melalui karya jurnalistiknya.
Karya wartawan bukanlah sekadar hasil liputan, tetapi produk jurnalistik yang melewati proses editorial yang sah dan berlapis, dengan disiplin verifikasi ketat. Sekali lagi harus diingat, wartawan harus tunduk pada peraturan perundang-undangan, kode etik, dan menghormati norma yang hidup di tengah masyarakat.
Dalam teorinya tentang ruang publik (public sphere), filsuf Jürgen Habermas menekankan bahwa demokrasi hanya bisa tumbuh jika warga negara memiliki ruang untuk berdialog secara rasional, terbuka, dan bebas dari dominasi.
Di ruang inilah, informasi diverifikasi, opini dikaji, dan keputusan kolektif diambil secara deliberatif. Pers (wartawan) berfungsi menyediakan informasi faktual, mencari kebenaran dan bertanggung jawab. Sementara itu, LSM hadir sebagai agen pengorganisasi kepentingan sipil yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu dalam ruang publik tersebut.
Wartawan dan LSM memang sama-sama berada di jantung ruang publik yang sehat. Wartawan menjaga dan memenuhi hak publik atas informasi, LSM menjaga sensitivitas sosial. Tapi keduanya tidak bisa ditukar, karena peran, pendekatan, dan akuntabilitasnya yang berbeda.
Jangan sampai ada yang melanggar batas ini, karena profesi akan kehilangan integritasnya. Publik juga akan menjadi bingung membedakan mana suara publik, mana suara pribadi yang dibungkus klaim. Kalau masyarakat gagal membedakan, alamat ruang publik kita disusupi oleh kepentingan pribadi yang dibungkus topeng idealisme.
Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sesungguhnya menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Oleh karenanya, di dalam praktik kerja jurnalistik seorang wartawan mendapat jaminan konstitusi atas hak untuk mencari dan memperoleh informasi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) menjadi dasar hukum terhadap aktivitas kewartawanan dan jaminan hukum atas tugas-tugas mulia yang dilakukan oleh seorang wartawan.
Sebagaimana Pasal 3 (1) UU Pers yang mengatur bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Lebih lanjut Pasal 6 UU Pers mengatur bahwa pers berperan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Mereka harus bekerja secara independen, menjaga akurasi, berimbang, bertanggung jawab dan menghormati hak-hak narasumber. Wartawan juga tidak boleh mencampurkan fakta dan opini, tanpa diskriminasi, menghindari berita bohong dan fitnah, tidak beritikad buruk, selalu menerapkan azas presumption of innocence (praduga tak bersalah), dan masih banyak lagi lainnya.
Di samping itu, tiap wartawan di Indonesia juga dituntut memiliki kompetensi profesi dan media tempat dia bekerja juga mesti dituntut untuk berbadan hukum dan terverifikasi oleh Dewan Pers.
