iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

JAMBIUPDATE.CO, PADANG - Suramnya bisnis perhotelan diyakini berlanjut tahun ini. Biarpun, awal tahun 2021 ini mulai menunjukkan pertanda baik. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumbar, Maulana Yusran mengatakan, tingkat okupansi perhotelan di Sumbar memasuki tahun 2021 diprediksi masih rendah akibat pandemi Covid-19. Lebih-lebih, tresn pemulihan ekonomi perhotelan terbilang masih panjang.

”Pada bulan Januari, Februari dan Maret memang memasuki kondisi low season yang merupakan siklus tahunan, apalagi kalau berbicara Sumbar itu mayoritas masih berbicara traveler domestik. Sebab, tidak ada pergerakan yang signifikan karena habis tutup tahun,” ungkapnya kepada Padang Ekspres, kemarin, (21/2).

Saat ini, tambah dia, perhotelan di Sumbar ini bisa dikatakan 40 persen penghasilannya dari belanja pemerintah yakni sewa meeting room. Sisanya, barulah tamu yang menginap. Sementara APBD dan APBN pemerintah itu normalnya baru di bawah bulan Maret.

”Memang kontribusi okupansi kita kebanyakan dari kegiatan pemerintah yang dibiayai APBD dan APBN, sehingga kegiatan-kegiatan pemerintah berkaitan dengan perhotelan belum ada jalan. Artinya, kondisi perhotelan Januari-Maret itu memang sepi,” jelas Yusran.

Di samping itu, faktor yang lebih penting lagi adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) DKI Jakarta yang ikut mempengaruhi kunjungan ke Sumbar. Mengingat, kegiatan yang bersumber dari pergerakan di sana sangat menentukan tumbuhnya okupansi di Sumbar.

Jadi Januari hingga Maret ini memang performance memang terjadi penurunan khususnya week days atau hari biasa dan weekend sedikit terjadi peningkatan. Namun, di Kota Padang cukup rendah jika di bandingkan dari Kota Bukittinggi yang jauh lebih baik,” bebernya.

Tak hanya itu, lanjutnya, tamu yang menginap pun sangat sedikit karena masa liburan mereka habis terutama di bulan Januari. Kondisi inilah yang membuat PHRI memprediksi bahwa okupansi hotel di 2021 masih rendah. Artinya, pandemi Covid-19 masih memberikan dampak pada tahun ini.

”Kita berbicara ini sangat rumit, karena pariwisata itu memang suatu kegiatan yang membutuhkan pergerakan orang. Problemnya ada di situ. Nah, situasi pandemi Covid-19 ini kan belum tau sampai sejauh apa, makanya kalau kita bicara outlook memang agak sulit untuk sektor pariwisata apalagi kalau hotel dan restoran. Karena, memang kita ini sektor yang tergantung kepada kebijakan,” imbuhnya.

Yusran menyebutkan, hal itu dikarenakan adanya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten alias terus berubah-ubah. Ketika suatu keluarga ingin melakukan perjalanan jarak jauh, ternyata ada kebijakan pemerintah yang membuat agenda perjalanan itu harus diubah. Misalnya, soal liburan akhir tahun yang dijanjikan pemerintah sebagai pengganti liburan lebaran, ternyata mereka tidak bisa menikmati liburan lebaran lalu di akhir tahun ini. Padahal, mereka telah merancang dana, waktu, dan reservasi juga.

Namun di informasi jelang akhir tahun dari pemerintah, soal rencana liburan akhir tahun sebagai pengganti liburan lebaran tidak bisa terwujud. ”Akibatnya, semua rencana itu di hapus saja. Nah, hal semacam ini yang berdampak kepada dunia pariwisata termasuk itu bagi pelaku usaha perhotelan,” ungkap Yusran.

Jadi, sektor perhotelan sangat rentan saat sekarang ini. Seharusnya strategi bertahan harus dilakukan semaksimal mungkin atau efisiensi. Dalam konteksnya harus melakukan over head cost. ”Kalau okupansi rendah yang pertama. dilakukan tentu penghematan listrik yang tidak terpakai dan juga harus menutup sebagian fasilitas dan juga pengurangan karyawan,” terangnya.


Berita Terkait



add images