iklan Elni Febriany saat melaksanakan kuliah Daring.
Elni Febriany saat melaksanakan kuliah Daring.

PANDEMI yang terjadi akibat Virus Corona (Covid-19) yang tak kunjung reda telah menjadi kendala dan rintangan dalam banyak hal. Tak terkecuali di dunia pendidikan, dimana sudah hampir satu semester aktivitas perkuliahan di semua kampus di Provinsi Jambi digantikan dengan sistem Dalam Jaringan (Daring) atau online. Lantas apa saja keluh kesah yang dirasakan para mahasiswa?

SAFWAN PEBRIYANGSAH

MODEL pembelajaran secara daring tentunya sudah bukan menjadi persoalan yang baru lagi, di tengah maraknya penyebaran Virus Corona (COVID-19), banyak Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta mengganti perkuliahan tatap muka dengan kuliah jarak jauh atau online. Suatu keharusan untuk menerapkan kebijakan kuliah daring tersebut.

Dengan kondisi ini, tentunya sistem pembelajaran secara online yang dialami para mahasiswa banyak mengalami kendala, mulai persoalan sistem, jaringan, keuangan untuk membeli kuota internet yang tak sedikit sampai pada konten atau materi kuliah.

Elni Febriany, misalnya. Elni merupakan Mahasiwa Universitas Jambi (Unja) yang saat ini duduk di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Jurusan Kesehatan Masyarakat yang masih menempuh perkuliahan semester tiga.

Setiap harinya, wanita kelahiran Ujung Pasir, 12 Februari 2020 ini yang mana matanya selalu terpaku pada monitor laptop dalam mengikuti aktivitas perkuliahan secara daring. Beberapa bulan sudah aktivitas kampus dikerjakan di rumah karena aktivitas kampus diliburkan akibat pandemi Covid-19 yang masih mewabah di Jambi, khususnya.

Tugas demi tugas pun ia kerjakan di rumah dengan berbekal setumpuk buku dan kuota internet. Bukannya tambah ringan, perkuliahan online pun dinilainya sangat melelahkan dan membosankan. Terlebih lagi tidak semua materi bisa diserapnya dengan gampang seperti saat dosen menjelaskan di kelas secara tatap muka.

“Selama proses belajar daring, paket data internet sangat boros, apalagi sinyal internetnya lemot, tambah tidak focus kuliah jadinya,” kata wanita 20 tahun tersebut kepada harian ini.

Selama model pembelajaran secara online ini diberlakukan, kata Elni, Dia harus merogok kocek yang tak sedikiti untuk biaya pembelian paket data internet. Biasanya, Dirinya hanya mengahabiskan sekitar Rp. 200 ribu per bulannya, namun saat ini terjadi peningkatan yang sangat signifikan bagi dirinya dalam pemakaian data internet.

“Kalau biasanya Rp 200 ribu cukup satu bulan, sekarang Rp 400 Ribu dalam sebulan pun kadang kurang. Kita harus standby trus menggunakan aplikasi Zoom untuk mengikuti perkuliah belum lagi untuk mencari bahan tugas yang terus menumpuk,” bebernya.

Terlebih lagi, kata Elni, setelah perkulaian online itu selesai diikuti, tak sedikit dosen yang langsung memberikan tugas yang serentak dengan mata kuliah lainnya. Apalagi harus dikejar dengan batas waktu pengerjaannya.

“Referensi untuk cari tugas minim, ditambah lagi tugasnya yang banyak dari dosen beberapa mata kuliah. Waktu yang diberikan juga tidak lama, tentunya menjadi kesulitan bagi kami. Ini berbeda dengan perkuliahan tatap muka, setidaknya aktivitas di perpustakaan untuk mencari buku masih bisa dilakukan,” bebernya.

Meski demikian, Elni menyadari bahwa tugas yang diberikan para dosen memang hak dan kewajibannya sebagai seorang pengajar. Sebagai mahasiswa, ia wajib menaatinya dan menjalankan sebagaimana mestinya.

“Mau gimana lagi, Saya berusaha menyelesaikan tepat waktu. Saya berharap, pandemic ini segera berakhir dan aktivitas perkuliahan tatap muka kembali dimulai seperti biasa,” tuturnya.

Hal yang sama juga dirasakan sejumlah mahasiswa lainnya. Seperti halnya Hadi Tianur, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Universitas Jambi. Hadi merupakan mahasiswa tingkat akhir yang saat ini tengah berjuang menyelesaikan tugas akhirnya yakni Skripsi di tengah pandemi Covid-19.

Semenjak virus corona dan kampus memutuskan libur, Hadi mengaku sungguh kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Bagaimana tidak, sejak awal munculnya corona virus desease 19 (covid-19) segala hal dibatasi termasuk mahasiswa yang sedang kuliah semester akhir di perguruan tinggi.

Pemberlakukan Physical Distancing membuat keadaan menjadi serba tidak mudah bagi mahasiswa dalam proses pengerjaan skripsi. Pembatasan pertemuan fisik, baik di kampus, dan tempat-tempat lainnya dirasakan telah menjadi kendala dalam proses pengumpulan data serta proses bimbingan.

“Menjadi pejuang skripsi di tengah pandemic memang membuat kita melatih kesabaran dalam banyak hal. Tak hanya soal bimbingan skripsi saja, tapi dalam mengurus administasi di kampus pun menjadi mandek,” katanya.

Dijelaskannya, biasanya dalam urusan administrasi cukup cepat dikeluarkan. Namun berbeda dengan kali ini yang mana aktivitas kampus diputuskan untuk diliburkan dalam waktu yang cukup lama mengingat pasien positif Covid-19 di Provinsi Jambi saat ini terus meningkat.

“Tentunya hal ini menjadi hambatan bagi kami dimana waktu terus bergulir yang mengharuskan kami untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Apalagi hidup di rantau yang mana biayanya yang tak sedikit,” bebernya.

Menjadi mahasiswa tingkat akhir dimasa pandemi memang lebih berat dari mahasiswa tingkat akhir sebelum masa pandemi, namun semua ini harus tetap berjalan seperti biasanya walaupun semua kegiatan

“Selalu ada saja urusan adminitrasi yang harus dilalui dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jadi ya harus bekerja ekstra dan sabar saja dalam proses menyelesaikan tugas akhir skripsi,” tuturnya.(***)


Berita Terkait



add images