DI Eropa saat ini sedang pergantian musim. Musim semi ke musim panas. Bertepatan pula dengan Ramadhan, termasuk di Belanda. Yance Arizona, mahasiswa asal Jambi, pemilik dua gelar master yang kini menyelesaikan studi S3 di Leiden University, berbagi kisah tentang Ramadhan di Negeri Kincir Angin itu.
PIRMA SATRIA
TAHUN ini merupakan tahun kedua, Yance (sapaan akrabnya, red) berada di Belanda dalam rangka menyelesaikan studi S3 di Van Vollenhoven Institute, Leiden University, Belanda.
Leiden University adalah universitas tertua di Belanda yang didirikan pada tahun 1575. Ada banyak fakultas di sini, namun menurut pemilik dua gelar master ini, yang paling favorit bagi mahasiswa Indonesia adalah studi tentang hukum, sejarah dan antropologi.
Menurut Yance, Leiden bukanlah kota yang terlalu besar. Jumlah penduduknya sekitar 124.000 jiwa, Leiden adalah kota pelajar yang kebanyakan dihuni oleh mahasiswa yang datang dari berbagai negara.
Saat pergantian ke musim panas (summer) seperti saat ini, sebutnya, kehidupan lebih terasa karena bunga-bunga masih banyak yang mekar dan orang-orang sangat menikmati matahari.
Beberapa kafe membuka meja di pinggir jalan supaya bisa sambil minum kopi atau membaca buku di bawah terik matahari. Selain itu, banyak juga orang-orang menikmati matahari dengan speed boat yang hilir mudik menelusuri kanal-kanal yang mengelilingi kota Leiden.
Sebagian mereka juga berjemur di pinggir-pinggir kanal, jelas peraih gelar master masing-masing di Onati International Institute for the Sociology of Law, University of the Basque Country, Spanyol dan Magister Hukum Universitas Indonesia ini, via Surel yang diterima koran ini beberapa hari lalu.

Yance di depan kampus Leiden University
Khusus Ramadhan, putra kelahiran Kerinci 24 Maret 1983 ini, mengatakan, memang dibutuhkan trik untuk membagi waktu, antara rutinitas di kampus dan kesibukan menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan segala pernik-perniknya.
Selama bulan Ramadhan, jelasnya, ritme kehidupan menjadi berubah. Di Belanda, puasa berlangsung 18 jam, nanti menjelang akhir Ramadhan puasa lebih panjang menjadi 19 jam. Jadi waktu antara berbuka puasa dan sahur sangat singkat.
Waktu untuk istirahat juga menjadi semakin singkat, namun hal itu tidak banyak mempengaruhi aktivitas keseharian Saya sebagai mahasiswa maupun sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda, jelasnya.
Bagaimana dengan menu makanan berbuka dan sahur? Kata Yance, mengenai makanan, di Belanda sangat mudah ditemukan bahan makanan dan bumbu masakan dari Indonesia, restoran Indonesia juga banyak ditemukan. Namun tentu saja harganya lebih mahal dibandingkan dengan Indonesia.
Rasanya juga tentu tidak persis seperti makanan dan jajanan yang biasa ditemuai di Indonesia pada saat bulan puasa, jelasnya.
Di Leiden, sambungnya, tidak ada masjid khusus untuk orang Indonesia. Kalau di kota lain seperti di Den Haag, Amsterdam dan Utrecth ada masjid komunitas Indonesia.
Sekali waktu saya pernah ikut buka puasa dengan komunitas Indonesia yang ada di Utrecth yang jaraknya sekitar 60 km dari Leiden. Biasanya kalau ibadah malam dilakukan di Masjid orang Maroko atau orang Turki, atau seringkali melakukannya di rumah. Para pelajar di Leiden sering mengadakan buka puasa bersama yang diselenggarakan dari rumah ke rumah, jelasnya.
Selain itu, sebutnya, bila mau bertemu dengan lebih banyak orang Indonesia, bisa mengikuti buka puasa bersama di KBRI Den Haag yang diadakan setiap hari Jumat.
Kerinduan akan kampung halaman terobati dengan banyak bergaul dengan orang Indonesia di Belanda, ujarnya.
Yance juga berbagi tentang rencananya setelah meraih gelar phD. Katanya, setelah selesai studi, ia akan kembali ke Indonesia untuk melanjutkan tugas sebagai dosen dan aktivis pembaruan hukum.
Untuk Jambi, tentu sangat berharap bisa berkontribusi untuk memajukan masyarakat Jambi dengan bekal ilmu yang saya peroleh selama studi di luar negeri, ujarnya.

Suasana buka puasa di Belanda
Terkait kehiudupan di Belanda, alumni Universitas Andalas ini mengatakan, banyak pengalaman yang mengesankan selama studi di Belanda. Di Belanda, kehidupan berjalan lebih santai. Kemana-mana di dalam kota cukup mudah diakses dengan sepeda. Kalau keluar kota juga sangat terbantu dengan kereta api yang jadwalnya sangat ontime.
Di sini orang sangat menghargai waktu. Kalau sudah buat janji bertemu, jarang sekali orang akan datang terlambat. Macet tidak bisa menjadi alasan orang yang datang terlambat di Belanda, jelasnya.
Kalau untuk studi tentang sejarah Indonesia, sebutnya, Perpustakaan Leiden University punya koleksi yang paling lengkap.
Di sini ada Asian Library yang koleksinya kalau dibeberkan sampai sepanjang 30 kilometer, dan paling dominan adalah material tentang sejarah Indonesia. Orang Belanda sangat tekun dalam merawat dokumen-dokumen sejarah, sehingga menjadi sumber penting untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pungkasnya.
(*)
