iklan
Jika kita berharap banyak untuk perubahan yang positip pada  hasil Pemilu 2014, maka kita akan kecewa. Lebih baik berfikir rational dari fenomena yang muncul yang dapat menggambarkan situasi yang akan terjadi.  Dengan kata lain mimpi hanya tinggal mimpi dan tak mungkin mimpi itu akan jadi kenyataan, bahkan bisa saja menjadi lebih menakutkan (nightmare).

Angan-angan pada Pemilu 2014 mengharapkan calon legislatif berkualitas, jauh dari korupsi, memiliki idealisme yang kuat, visioner, dekat dengan rakyat, tanggap dan mau memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Inilah yang dikatakan dalam bahasa latin dalam satu kata “Utopia”. Mengapa pesimis demikian? Kita tidak dapat berharap banyak untuk perubahan yang lebih baik, karena data survey dari Indo Barometer tanggal 24 Mei  2014 menunjukkan bahwa : 90,5 % legislator yang sedang menjabat sekarang, maju kembali bertarung untuk mendapatkan kursi di legislatif tahun 2014 dan fakta yang mengejutkan masyarakat tanpa malu-malu mengatakan bahwa mereka akan memilih calon yang punya uang ketimbang yang punya integritas (71,8 %). Survey Rocky Gerungan (Deutsche Welle, 2013) menunjukkan bahwa untuk legislatifve pusat sebagian besar partai mempromosikan  artis-artis menjadi calon legislatif sebagai pendulang suara. Oleh Gerungan disebut dengan istilah Politik Kontrak (Outsourching). Mereka dikontrak untuk membesarkan partai. Ketika orde Baru kita menemukan artis-artis hanya dimanfaatkan untuk pemancing suara (vote getter)  dalam kampanye, sehingga masyarakat beramai-ramai datang di tempat kampanye . Namun tidak akan pernah  dipromosikan menjadi caleg. Untung saja Novi Amelia, model wanita yang menabrak 7 pejalan kaki dalam keadaan sakau dan hanya menggunakan celana dalam itu tidak dipromosikan juga jadi caleg. 

Ketika Orde Baru kita juga bisa melihat mereka yang dipromosikan adalah berasal kader-kader partai yang telah mendapat indokrinasi dari partai masing-masing. Noktah yang terjadi ketika itu adalah  persoalan intervensi Pemerintah melalui kebijakan “Penelitian Khusus  (Litsus)”, bagi balon legislatif  yang diajukan partai  dianggap vocal dan pernah berseberangan pandangan dengan pemerintah, mereka-mereka tersebut tidak dapat diajukan sebagai calon legislatif (caleg).   Jika kita melihat kenyataan ini, memang secara kebebasan terjadi kemajuan era reformasi, namun secara kualitas caleg yang diajukan oleh partai sekarang  terjadi kemunduran.  Sebaliknya promosi balon legislative dari partai pada ORBA relative lebih baik, karena melalui mekanisme  pengkaderan yang jelas. Politik dinasti dan Money Politic tidak terang-terangan terjadi seperti sekarang.


Partai politik mempromosikan balon legislatif tanpa seleksi yang ketat, terutama partai-partai tidak melaksanakan pengkaderan sama sekali. Asal mereka sanggup bayar mahar kepada partai berkisar Rp. 150 juta hingga 200 juta untuk balon legislative propinsi, maka ia dapat maju sebagai caleg.  Ada pula oknum partai walau melakukan pengkaderan, namun pengkaderan bukan jaminan ia dapat dipromosikan sebagai balon legislatif, karena mereka harus bayar untuk biaya promosi atau terpaksa mengalah karena  praktek politik dinasti. Ini pulalah kenapa  fenomena banyak kader  partai beralih untuk  memilih bertarung melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Rekomendasi


Recruitmen yang strict berdasarkan idiologi partai  dan promosi balon  legislative melalui pengkaderan dengan seleksi obyektive  serta transparan, merupakan  suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam memperoleh legislator yang berkualitas. Apa guna keran kebebasan politik yang sudah diperjuangkan ketika era reformasi, tapi tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. Last, but not least  sosialisasi pendidikan politik terhadap masyarakat tetap gencar (kontinyu) dan meluas.


------------------------------

*Penulis adalah Ketua STISIP Nurdin Hamzah Jambi dan Ketua Pelanta.

Berita Terkait



add images