Mutu Pendidikan Jambi Bukan Sekadar Soal Uang

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Perdebatan mengenai rendahnya mutu pendidikan di Jambi sering kali diarahkan pada minimnya anggaran. Pandangan ini tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Menyederhanakan persoalan pendidikan hanya sebagai soal dana berisiko membuat solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar masalah.

Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan rata-rata lama sekolah (RLS) Jambi masih berada di angka 8,5 tahun, di bawah target nasional 9 tahun. Angka ini memang memperlihatkan perlunya intervensi serius. Namun, membandingkan kondisi tersebut dengan negara seperti Singapura atau Malaysia jelas tidak relevan. Singapura adalah negara kota dengan jumlah penduduk relatif kecil dan ekonomi berbasis industri, sedangkan Jambi adalah provinsi dengan karakter geografis pedalaman dan ekonomi berbasis sumber daya alam. Problem pendidikan Jambi jauh lebih kompleks, terutama pada distribusi layanan pendidikan di daerah terpencil, keterbatasan tenaga pendidik berkualitas, serta lemahnya tata kelola.

BACA JUGA: 500 Guru Honorer Sarolangun Didata Ulang, Berpeluang Diusulkan Jadi PPPK Paruh Waktu

Gagasan untuk mengandalkan dana CSR perusahaan sebagai salah satu sumber pembiayaan pendidikan juga perlu ditinjau secara kritis. Harapan bahwa CSR bisa menjadi solusi besar, bahkan mencapai triliunan rupiah, terlalu berlebihan. CSR pada praktiknya sering kali dikelola secara nasional oleh perusahaan, bukan berbasis provinsi. Selain itu, banyak perusahaan masih memperlakukan CSR sebagai kewajiban administratif ketimbang komitmen jangka panjang yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan (Lindgreen & Swaen, 2010; Jamali & Karam, 2018). Dengan kondisi demikian, menggantungkan masa depan pendidikan Jambi pada CSR sama saja dengan membangun rumah di atas fondasi rapuh.

Faktor yang paling krusial sesungguhnya terletak pada tata kelola pendidikan itu sendiri. Banyak sekolah di Jambi belum memenuhi standar nasional bukan hanya karena keterbatasan dana, tetapi juga karena rendahnya inovasi pembelajaran, lemahnya perencanaan, dan minimnya supervisi manajerial. Guru sebagai ujung tombak pendidikan sering kali dibebani administrasi berlebih, sementara peningkatan kapasitas pedagogik berjalan lambat. Penelitian Hanushek dan Woessmann (2011) menegaskan bahwa kualitas guru memiliki pengaruh jauh lebih signifikan terhadap capaian belajar siswa dibandingkan dengan besarnya input finansial.

BACA JUGA: Kisruh Lahan Warga dan Negara, DPRD Tebo Bentuk Tim Invenrktarisasi

Oleh karena itu, solusi peningkatan mutu pendidikan di Jambi tidak bisa sekadar menambah anggaran. Dana memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan efektivitas penggunaannya. Reformasi manajemen pendidikan, peningkatan kapasitas guru, serta pemerataan akses di wilayah pedalaman harus menjadi prioritas. Tanpa itu semua, penambahan anggaran tidak akan berdampak signifikan pada kualitas pendidikan.

Pendidikan bukan hanya persoalan membangun sekolah atau menyalurkan dana, melainkan bagaimana membentuk sistem yang sehat, inovatif, dan berkeadilan. Jambi membutuhkan keberanian untuk melakukan pembenahan menyeluruh, bukan sekadar mencari kambing hitam atau solusi instan. Karena pada akhirnya, mutu pendidikan yang baik tidak hanya ditentukan oleh berapa banyak uang yang tersedia, tetapi seberapa cerdas dana tersebut dikelola untuk melahirkan generasi berkualitas.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2024). Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Jambi 2024. BPS.

Hanushek, E. A., & Woessmann, L. (2011). The economics of international differences in educational achievement. In Handbook of the Economics of Education (Vol. 3, pp. 89-200). Elsevier.

Jamali, D., & Karam, C. (2018). Corporate social responsibility in developing countries as an emerging field of study. International Journal of Management Reviews, 20(1), 32–61.

Lindgreen, A., & Swaen, V. (2010). Corporate social responsibility. International Journal of Management Reviews, 12(1), 1–7.