Martayadi Tajuddin

TUKS PT SAS: Mencari Titik Temu antara Investasi dan Lingkungan

Posted on 2025-07-13 17:32:17 dibaca 1751 kali

Oleh: Martayadi Tajuddin

Polemik pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) oleh PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi, membuka lembar baru perdebatan panjang tentang relasi antara investasi dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Sementara perusahaan mengklaim legalitas dan pemerintah daerah menyatakan dukungan, publik justru mempertanyakan transparansi, keadilan tata ruang, dan komitmen terhadap perlindungan ekosistem lokal.

Proyek ini tak ubahnya cermin dari kondisi tata kelola ruang yang timpang: antara kekuatan modal dan suara warga, antara dorongan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian ruang hidup. Ia bukan hanya masalah administratif atau teknis, melainkan pertanyaan moral dan strategis: pembangunan seperti apa yang ingin kita wariskan ke generasi mendatang?

Legalitas Formal vs Legitimasi Sosial

Pihak PT SAS menyebut bahwa mereka telah mengantongi izin sejak 2015. Namun, perizinan tersebut terbit sebelum pengesahan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi pada 2016, serta tak sejalan dengan RTRW Provinsi Jambi 2023–2043. Kedua dokumen itu secara eksplisit mengklasifikasikan lokasi proyek sebagai zona non-industri.

Dalam konteks hukum tata ruang, kesesuaian lokasi dengan RTRW bersifat imperatif. Pembangunan yang tidak berada dalam zona peruntukan sesuai RTRW berpotensi melanggar UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahkan meski mengantongi izin lama. Dengan kata lain, proyek dapat sah secara administratif, namun tidak legitimate secara sosial dan ekologis.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah pengakuan sebagian warga yang merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Padahal partisipasi publik adalah prinsip dasar yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketika pembangunan berjalan tanpa konsultasi berarti, maka legitimasi sosial proyek tersebut melemah secara mendasar.

Rawa Bukan Lahan Kosong

Ekosistem rawa yang diklaim telah ditimbun oleh proyek ini bukan sekadar lahan tak produktif. Ia merupakan sistem ekologis yang memainkan peran penting dalam keseimbangan hidrologis—menyerap limpasan air hujan, menyimpan karbon, serta menjadi benteng alami terhadap banjir.

Studi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 menyebutkan bahwa kehilangan 1 hektare lahan rawa di daerah dataran rendah dapat meningkatkan potensi banjir di area seluas 3 hingga 5 hektare sekitarnya. Ditambah lagi, lokasi TUKS yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari instalasi PDAM Kota Jambi menimbulkan risiko terhadap kualitas dan kuantitas air baku warga.

Di era perubahan iklim, mengorbankan ekosistem rawa demi pembangunan non-esensial bukanlah keputusan bijak. Kota Jambi sendiri kerap dilanda banjir musiman. Maka proyek seperti ini, bila tidak diawasi ketat, berpotensi memperparah kerentanan ekologis dan bencana hidrometeorologis.

Bukan Kasus Isolated

Polemik TUKS PT SAS bukanlah kasus tunggal. Di berbagai daerah, konflik serupa terus bermunculan.

Pada 2021, Mahkamah Agung membatalkan izin pembangunan terminal batu bara PT ODICO di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, setelah gugatan warga atas kerusakan mangrove dan zona tangkap nelayan dikabulkan. Di Sulawesi Tenggara, pembangunan pelabuhan PT TBL (2019) yang minim sosialisasi memicu protes dan blokade warga, menyebabkan stagnasi logistik dan biaya sosial yang tinggi.

Yang paling monumental adalah pembangunan pabrik semen dan pelabuhan di Rembang, Jawa Tengah. Meski proyek tetap berjalan setelah rangkaian gugatan hukum, konflik sosial yang panjang dan keretakan sosial di masyarakat lokal menyisakan luka mendalam. Pelajaran dari berbagai kasus tersebut jelas: investasi tanpa legitimasi sosial bukan hanya merugikan warga, tapi juga melemahkan keberlanjutan bisnis itu sendiri.

Investasi Tak Boleh Merusak Masa Depan

Tidak dapat disangkal, investasi adalah penggerak utama ekonomi daerah. Pemerintah daerah tentu berharap kehadiran TUKS dapat mempercepat alur logistik dan meningkatkan pendapatan dari sektor pertambangan. Namun pertanyaannya bukan pada seberapa besar investasi yang masuk, melainkan bagaimana investasi tersebut dikelola agar tidak merusak hak-hak lingkungan dan sosial warga.

Paradigma investasi global telah berubah. Investor kelas dunia kini menempatkan Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai tolok ukur utama kelayakan proyek. Proyek yang rawan konflik sosial, merusak lingkungan, dan tidak sejalan dengan tata ruang resmi cenderung dihindari oleh lembaga keuangan internasional.

Pemerintah Provinsi Jambi dan Kota Jambi harus melihat bahwa menjadi daerah ramah investasi tidak berarti memberi kelonggaran terhadap pelanggaran lingkungan. Justru dengan menegakkan kepatuhan tata ruang dan keberlanjutan, daerah akan dipercaya sebagai tempat aman berinvestasi—bukan hanya cepat, tapi juga adil dan berjangka panjang.

Jalan Tengah yang Adil dan Berbasis Bukti

Jalan tengah bukan hal yang mustahil. Beberapa langkah konkret dapat diambil secara konstruktif:

Pertama : audit independen perlu segera dilakukan untuk menilai legalitas, dampak lingkungan, dan kesesuaian RTRW secara objektif. Tim ini harus terdiri dari akademisi, lembaga lingkungan, perwakilan masyarakat, serta unsur pemerintah yang tak terafiliasi dengan proyek.

Kedua : forum multipihak terbuka harus dibentuk. Dialog antara warga, perusahaan, pemerintah, dan pihak netral perlu dilakukan untuk membicarakan masa depan proyek secara jujur dan inklusif. Apakah relokasi diperlukan? Apakah proyek bisa dimodifikasi agar sesuai zona industri?

Ketiga : jika proyek dinyatakan layak secara terbatas, maka desain ulang harus dilakukan. Termasuk penyediaan zona hijau penyangga, pengendalian polusi, pembatasan jam operasional, dan sistem drainase yang mencegah limpasan. Kompensasi kepada warga harus lebih dari sekadar santunan: ia harus mencakup perlindungan sumber air, pemberdayaan ekonomi lokal, dan monitoring jangka panjang.

Keempat : seluruh dokumen izin dan Amdal wajib dibuka ke publik. Transparansi adalah kunci dari kepercayaan.

Jalan Menuju Keadilan Ruang

Kasus TUKS PT SAS bukan soal menolak investasi. Ini soal membangun kesadaran bersama bahwa investasi yang baik bukan yang cepat, tapi yang taat pada hukum, menghargai ruang hidup, dan memberi manfaat jangka panjang bagi semua pihak.

Ruang hidup adalah hak konstitusional warga negara. Tata ruang bukan milik perencana atau investor, tetapi milik publik yang akan menanggung dampaknya. Ketika rawa ditimbun, suara banjir dan polusi akan menggema lebih keras dari argumen legalitas.

Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat kini berada di simpang jalan. Menempuh jalan dialog dan keadilan ekologis akan membuka ruang harmoni. Sebaliknya, jika proyek dilanjutkan tanpa koreksi, maka konflik yang lebih dalam tinggal menunggu waktu. (MT)

Martayadi Tajuddin adalah akademisi dan pemerhati kebijakan tata ruang, lingkungan, dan pembangunan daerah.(*)

Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com