Angga Eko Emzar, mahasiswa asal Merangin Jambi yang kini mengambil S2 di University of Goettingen, Jerman

Cerita Angga Eko Emzar, Mahasiswa Jambi yang Studi s2 di Jerman: Taraweh Pukul 22.30, Kerupuk Makanan Indonesia Tervaforit

Posted on 2018-06-02 00:34:14 dibaca 2830 kali

JAMBIUPDATE.CO, LAIN lagi di Jerman. Puasanya lebih lama dari Hungaria dan Inggris,  sekitar 19 Jam. Berikut cerita Angga Eko Emzar, Mahasiswa Jambi yang kini mengambil studi master di University of Goettingen, Jerman.

 

PIRMA SATRIA

  

ANGGA Eko Emzar, lajang kelahiran Bangko, 20 Februari 1993 kini menempuh studi di salah satu kampus ternama di Jerman, University of Goettingen.

Setiap kali mendengar kata Jerman yang diucapkan, maka banyak hal yang identik dengan Negara Jerman diantaranya, Jerman pernah menjuarai piala dunia, negara yang menjadi destinasi tujuan kuliah dan banyak cendekiawan dan tokoh-tokoh terkenal Indonesia yang merupakan lulusan dari Universitas di Jerman salah satunya Bapak BJ. Habibie.

Di kampus ini, Angga (begitu sapaan akrabnya, red), mengambil jurusan Sustainable International Agriculture fokus pada International Agribusiness and Rural Development Economics. Dipilihnya jurusan ini, karena Angga yang notabenenya merupakan alumni Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

2016 merupakan tahun pertama Angga menginjakkan kaki di Jerman. Artinya, sudah beberapa kali Ramadhan ia habiskan di negara yang dulunya terbagi dua ini, Jerman Barat dan Timur, dan baru bersatu pada tahun 1990.

Menurut Angga, kerinduannya teramat sangat pada tanah air saat Bulan Ramadhan seperti saat ini. Pasalnya, saat Ramadhan inilah moment berkumpulnya keluarga,  buka puasa bersama, sahur bersama dan beberapa tradisi Ramadhan lainnya.

Di Jerman, kata Angga, buka puasanya lebih lama. Sahur pukul 02.00 CET dan buka puasanya pukul 21.20 CET (kurang lebih 19 jam).  Selama musim panas, matahari baru terbenam sekitar pukul 21.00 malam.

Bayangkan, jika tidak bisa berkompromi dengan kultur tersebut, tentu akan sangat menyiksa bagi warga Indonesia yang bermukim di sana, dengan durasi waktu berpuasa di Indonesia yang hanya 12-13 jam, sangat  kontra dan tidak "lazim".

 "Kurang lebih 19 jam. Musim panas, matahari tenggelam lebih lama," jelas Angga.

Meskipun berada jauh dari tanah air dan berada di tengah masyarakat yang muslimnya minoritas, kata Angga, mahasiswa muslim tidak perlu khawatir soal tempat berbuka dan sahur.

"Sebagai mahasiswa kalau tidak sempat masak kita bisa langsung berbuka di masjid bersama saudara-saudara muslim yang lain dan menunya selalu tukar-tukar loh (sesuai dengan negara yang menjadi tuan rumah)," jelasnya.

Menu makanan berbuka ala Indonesia sangat digemari di Jerman dan kerupuk merupakan makanan terfavorit dan paling laris selama Ramadhan.

Kata Angga, ada 5 masjid di Goettingen (jangan bayangkan masjidnya sebesar masjid di Indonesia). Masjid disini ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan masjid di Indonesia.

"Setiap malam kita solat tarawih di masjid dimulai pukul 22.30 an sampai 11.30. Nah, setelah taraweh tidak ada tadarus loh (alias tadarusnya sendiri-sendiri) mungkin dikarenakan terlalu malam dan takut dianggap mengganggu karena banyak orang yang sedang tertidur lelap," jelasnya.

Lantas, mengapa memilih kuliah di Jerman? Angga bertutur,  perjalanan hidupnya sampai di Jerman berawal dari perkenalannya dengan salah satu peneliti dari Universitas Goettingen yang melakukan penelitian di Jambi yaitu Valentyna (begitu panggilannya).

"Sebelumnya saya tidak memiliki cita-cita untuk kuliah ke Luar Negeri sama sekali, hal ini dikarenakan Valentyna memperkenalkan saya dan memberitahu bagaimana agar bisa melanjutkan kuliah ke Luar Negeri. Valentyna sangat baik dan juga mengajari saya Bahasa Jerman di Jambi hingga beliau sebelum kembali ke Jerman menuliskan sebuah kalimat di kertas dalam Bahasa Jerman "Wir sehen uns Deutschland" (walau hanya sepenggal kalimat hal inilah yang memotivasi saya untuk mewujudkannya). Kalimat tersebut yang mengandung arti dalam Bahasa Indonesia "Kita berjumpa di Jerman", kurang lebih begitu," ujarnya.

Saat itu Angga sadar bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup akan tetapi berbekal dengan tekad dan semangat untuk memenuhi janji pada  Valentyna, ia pun akhirnya fokus memperdalam Bahasa Inggris.

"Itu dia sepenggal motivasi kenapa Saya memilih untuk melanjutkan studi ke Jerman," katanya.

Bagaimana pula dengan perkuliahan dan kehidupan sehari-hari di Jerman? Kebanyakan system perkuliahan di Jerman menuntut kita untuk lebih mandiri dan aktif serta sudah berbasis teknologi dalam administrasi. Semua urusan lebih intensif menggunakan teknologi untuk memberikan pelayanan yang maksimal. Selain itu, selama perkuliahan tidak ada absensi kehadiran (tidak ada yang peduli mau masuk kelas atau tidak), tapi bukan berarti kelasnya kosong bahkan sebaliknya kelasnya tetap dipenuhi dengan mahasiswa mungkin karena sudah budaya kuliah bukan karena absen tetapi karena mereka sudah merasa butuh akan ilmu yang diajarkan oleh dosen.

"Mudah-mudahan kita kedepannya bisa menerapkan hal tersebut dengan tingkat kesadaran butuh untuk datang ke kelas jadi setidaknya kita sudah bisa menghemat kertas untuk absensi," ujar Angga sambil bercanda.

Sistem perkuliahan di Jerman, katanya, memberikan kebebasan kepada mahasiswanya untuk mengatur jadwal perkuliahannya sendiri. Tidak ada maksimal SKS yang harus diambil dan bebas untuk memulai mau ambil mata kuliah yang mana saja. Selain bebas, system perkuliahan di Jerman juga ketat dimana mahasiswa maksimal hanya boleh 3 kali ujian dan ketika kesempatan terakhir tidak lulus juga maka akan di Drop Out (D.O).

Selama perkuliahan berlangsung, mahasiswa tidak disyaratkan untuk memakai kemeja ataupun seragam, dengan kata lain berpakaian sangat bebas selama perkuliahan. Hal ini juga berlaku untuk dosen yang tidak harus berpakaian rapi bahkan jangan heran ketika sommer banyak dosen-dosen yang memakai celana pendek dan sandal (well, be whatever you want, because no one will complain about you).

"Kalau di Jambi kebanyakan mahasiswa menggunakan motor dan mobil sampai membuat macet jalanan, nah kalau di Jerman kebanyakan mahasiswa menggunakan sepeda, jalan kaki dan transportasi umum," sebutnya.

Sepeda, sebut Angga, merupakan alat transportasi utama bagi mahasiswa dan bukan berarti mereka tidak mampu tetapi pajak yang mereka harus bayarkan sangat tinggi jika memiliki mobil selain itu mereka juga harus membayar tagihan parkir yang hitungannya perjam.  "Selama kelas berlangsung kita menggunakan Bahasa Inggris tetapi bukan berarti di luar kelas kita menggunakan Bahasa Inggris . Nah, kita juga perlu setidaknya bisa untuk berkomunikasi dalam Bahasa Jerman untuk kehidupan sehari-hari," jelasnya.

Kalau kehidupan sehari-hari di Jerman, jelasnya, sangat bergantung dengan musim, contohnya ketika sommer bisa temui banyak orang berjemur di luar (seperti surga bagi semua orang untuk menikmati hangatnya sinar mentari) dan kebanyakan juga berpakaian lebih terbuka (bagi yang muslim bisa jadi ladang pahala nih). Durasi waktu untuk siang di sommer lebih Panjang dimana matahari akan terbenam jam 9 malam. Sebaliknya, ketika winter banyak orang menghabiskan waktu hanya di dalam ruangan dan berkumpul bersama dan matahari lebih cepat terbenam.

"Last but not least, bagi teman-teman yang pingin studi ke luar negeri jangan lupa untuk mempelajari budaya ya (at least tau budaya wilayahnya sendiri)," sarannya.

Sebagai duta Indonesia di luar negeri, mahasiswa Indonesia harus bisa mewakili negara  untuk mempromosikan Indonesia apalagi daerah asal masing-masing. Salah satu contohnya, orang Jerman sangat suka dengan pencak silat dan tarian tradisional Indonesia.  

"Pencak silat telah membuat saya bisa pergi ke berbagai kota dengan gratis dan memiliki banyak teman dan kenalan baru. Saya juga berbagi sedikit keahlian yang saya miliki dalam bermain silat (aliran Cimande berasal dari Jawa Barat dan Silat Penyudon dari Merangin). Saya saat ini diminta untuk melatih silat di Sportzentrum Universitas dan mereka sangat kagum dengan pencak silat Indonesia. Sebagai penerus bangsa kita harus bangga dengan seni dan budaya warisan nenek moyang kita. Jangan sampai budaya dan warisan nenek moyang punah di negeri sendiri dan berkembang di negeri orang," jelasnya.

Setelahmenyelesaikan studi nanti, kata Angga, dirinya sudah mempunyai seabrek cita-cita untuk diterapkan di Indonesia. Antara lain,menerbitkan buku yang bercerita tentang pengalamannya selama studi dan novel berisi tentang persahabatan dan kisah-kisah menarik dari teman-teman mahasiswa Indonesia, Jerman dan negara lainnya.

Berbagi pengetahuan untuk membangun Indonesia terutama Jambi, berbagi ilmu dengan mengabdi di perguruan tinggi yang berada di Jambi ataupun Indonesia, menggagas pembentukan Kelembagaan Pewarisan Silat Jambi (Keris Sibi) serta mengembangkan konsep wilayah wisata berbasiskan Agroecosustaintourism di Jambi berbasis budaya dan kearifan lokal.

"Mungkin itu tidak akan terwujud nantinya tanpa bantuan dari semua pihak dan saat ini saya memohon doa  semoga Saya segera menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia,  terutama Jambi," harapnya. (*)

Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com