Dr. Noviardi Ferzi

Jerat Ganda Kemiskinan: Optimalisasi APBD dan Anomali Investasi Ekstraktif

Posted on 2025-07-27 10:18:55 dibaca 572 kali

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi 

Provinsi Jambi tengah menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di daerah ini meningkat menjadi 270,94 ribu jiwa pada Maret 2025. Angka ini naik sebesar 5.500 orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tingkat kemiskinan mencapai 7,19%, yang bukan sekadar angka statistik belaka, melainkan representasi dari kegagalan struktural dalam sistem pembangunan dan pengelolaan sumber daya daerah.

Dua persoalan utama yang memicu kondisi ini adalah belum optimalnya pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta anomali dalam investasi di sektor ekstraktif seperti batubara dan perkebunan. Alih-alih memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan, investasi di sektor-sektor ini justru memperparah kemiskinan, merusak infrastruktur, dan mendorong terjadinya alih fungsi lahan serta kerusakan lingkungan secara luas.

Sebagai instrumen utama kebijakan fiskal di tingkat daerah, APBD seharusnya menjadi pilar dalam upaya mengatasi kemiskinan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa alokasi anggaran publik di Jambi masih jauh dari harapan. Sebagian besar anggaran justru terserap dalam proyek-proyek multi-tahun yang tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ketidaksesuaian antara perencanaan anggaran dan realitas sosial menyebabkan program-program tersebut gagal memberi dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lebih parah lagi, proyek-proyek tersebut berisiko menjadi pemborosan sumber daya publik karena tidak menjawab permasalahan mendasar kemiskinan.

Jika ditinjau dari Teori Lingkaran Setan Kemiskinan oleh Ragnar Nurkse, jelas terlihat bahwa APBD Jambi belum mampu menjalankan perannya sebagai pemutus siklus kemiskinan. Sumber daya keuangan yang seharusnya digunakan untuk mendorong sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar justru tersedot ke proyek-proyek yang minim dampak jangka panjang terhadap produktivitas masyarakat. Sejumlah penelitian, seperti yang dilakukan oleh Sihombing et al. (2022), Kende et al. (2024), dan Darinsyah (2014), menggarisbawahi pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas belanja daerah dalam mendukung pembangunan manusia.

Beberapa persoalan krusial dalam pengelolaan APBD Jambi perlu segera ditangani. Pertama adalah masalah ketidaktepatan sasaran belanja daerah. Banyak program pemerintah daerah yang tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat miskin, sehingga anggaran publik menjadi tidak produktif. Untuk itu, pendekatan Pro-Poor Budgeting yang dikembangkan oleh Smeru Research Institute perlu dijadikan kerangka utama dalam perencanaan anggaran daerah. Anggaran harus dialihkan ke sektor-sektor produktif seperti pertanian, UMKM, serta pelatihan keterampilan yang sesuai dengan potensi lokal agar mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan berkelanjutan.

Kedua, permasalahan koordinasi antar-pemangku kepentingan menjadi penghambat utama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Fragmentasi kelembagaan menyebabkan duplikasi program, kesenjangan bantuan, dan inefisiensi. Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip Good Governance yang menekankan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang efektif dan berkeadilan.

Ketiga, pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin belum menjadi agenda utama. Kenaikan angka kemiskinan setiap tahun menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan masih terlalu konsumtif dan tidak menyentuh akar persoalan. Padahal, menurut Narayan (2002), strategi pemberdayaan yang berfokus pada peningkatan kapasitas produktif masyarakat seperti penyediaan modal usaha, pelatihan kewirausahaan, pendampingan usaha, serta akses ke pasar adalah kunci untuk menciptakan transformasi ekonomi yang berkelanjutan.

Keempat, basis data kemiskinan yang digunakan masih bersifat agregat dan tidak real-time. Ini menyebabkan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah sering kali meleset dari sasaran. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jambi perlu membangun sistem informasi kemiskinan yang lebih mikro, berbasis teknologi digital, dan diperbarui secara berkala agar kebijakan sosial dapat ditargetkan secara lebih presisi dan tepat guna.

Di sisi lain, ironi besar terjadi ketika kekayaan sumber daya alam yang melimpah di Jambi tidak memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat lokal. Sebaliknya, investasi besar-besaran di sektor pertambangan batubara dan perkebunan sawit justru menjadi sumber baru kemiskinan. Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi lokal, model investasi ekstraktif ini menciptakan enklave ekonomi, yaitu struktur ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara masyarakat sekitar menjadi penonton bahkan korban.

Lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dan petani tradisional dialihfungsikan untuk tambang dan perkebunan skala besar. Akibatnya, masyarakat kehilangan sumber penghidupan utama mereka dan terpaksa beralih menjadi buruh kasar dengan upah minim dan tanpa jaminan keberlanjutan. Kondisi ini menciptakan kemiskinan struktural yang sulit diatasi.

Dampak negatif dari aktivitas ekstraktif juga tampak nyata dalam bentuk kerusakan infrastruktur, terutama jalan-jalan umum yang rusak parah akibat aktivitas angkutan truk-truk tambang. Kemacetan yang disebabkan oleh lalu lintas kendaraan berat tersebut menimbulkan inflasi lokal yang cukup signifikan. Harga kebutuhan pokok naik, distribusi hasil pertanian terhambat, dan biaya logistik melonjak. Petani merugi, konsumen terbebani, dan daya beli masyarakat menurun. Kemacetan lalu lintas di Jambi, dengan demikian, bukan sekadar masalah teknis, melainkan salah satu penyebab utama kemiskinan baru yang tumbuh di tengah masyarakat.

Polusi udara dan air yang ditimbulkan oleh pertambangan dan pembakaran batubara juga menimbulkan beban kesehatan yang besar. Biaya pengobatan meningkat, penyakit pernapasan menyebar, dan kualitas hidup masyarakat menurun. Dalam kerangka Capability Approach yang diperkenalkan oleh Amartya Sen (1999), kerusakan lingkungan ini secara langsung mengurangi kapabilitas masyarakat untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan layak. Ketika akses terhadap udara bersih, air bersih, dan lingkungan sehat terganggu, maka masyarakat kehilangan kemampuan dasar untuk berkembang secara manusiawi.

Melihat kondisi yang kompleks dan sistemik ini, Pemerintah Provinsi Jambi perlu mengambil langkah strategis yang menyeluruh. Reformasi pengelolaan APBD harus menjadi prioritas utama. Proyek-proyek multi-years yang tidak memberikan dampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat harus dihentikan sementara dan dievaluasi secara mendalam. Dana publik yang ada perlu dialihkan ke sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Pengawasan terhadap belanja daerah harus diperkuat melalui sistem yang transparan dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat sipil dalam proses pengawasan.

Selain itu, model investasi daerah juga harus mengalami transformasi mendasar. Pemerintah harus menegakkan hukum secara tegas terhadap perusahaan tambang dan perkebunan yang merusak lingkungan dan infrastruktur. Penerapan denda progresif serta kewajiban reklamasi harus ditegakkan tanpa kompromi. Di sisi lain, insentif harus diberikan kepada investor yang mengembangkan sektor hilirisasi dan diversifikasi ekonomi, termasuk sektor-sektor baru seperti pariwisata berkelanjutan, ekonomi kreatif, serta pertanian modern yang ramah lingkungan dan berbasis potensi lokal.

Langkah penting berikutnya adalah melakukan investasi besar dalam pembangunan manusia. Pemerintah perlu memastikan tersedianya akses pendidikan dan pelatihan keterampilan yang relevan bagi masyarakat, tidak hanya di sektor ekstraktif, tetapi juga sektor alternatif yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Layanan dasar seperti kesehatan, air bersih, sanitasi, dan gizi yang memadai harus dijamin, terutama bagi komunitas yang terdampak langsung oleh aktivitas ekstraktif.

Optimalisasi APBD bukan hanya sekadar soal distribusi anggaran, tetapi menyangkut efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran penggunaan dana publik. Dengan mengadopsi prinsip Pro-Poor Budgeting, memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan, memberdayakan masyarakat miskin secara produktif, serta membangun sistem data kemiskinan yang akurat dan real-time, Provinsi Jambi memiliki peluang besar untuk keluar dari jerat kemiskinan dan menuju pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan merata bagi seluruh warganya.

Penulis seorang pengamat dan Akademisi

Daftar Pustaka

Darinsyah, Y. (2014). Efektivitas Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Program Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Tahun 2010-2012. Jom FISIP, 1(2).

Kende, T. A., Hafizrianda, Y., & Ngutra, R. N. (2024). Efektivitas Dan Efisiensi Belanja Daerah Untuk Pembangunan Manusia Dan Pengentasan Kemiskinan Di Provinsi Papua. Jurnal Kajian Ekonomi & Keuangan Daerah, 9(2), 221-246.

Kuncoro, M. (1997). Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Narayan, D. (2002). Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook. Washington D.C.: The World Bank.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.

Sihombing, P. R., Muslianti, D., & Yunita. (2022). Apakah Dana Desa dan Fungsi Belanja APBD Mampu Mengatasi Kemiskinan di Indonesia?. Jurnal Ekonomi Dan Statistik Indonesia, 2(2), 236-243.

Smeru Research Institute. (2006). Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin (Fokus: Pro-Poor Budgeting). Jakarta: Smeru Research Institute.

Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com