Gedung KPK.

Jalan Tengah Perppu KPK: UU Hasil Revisi Dibahas Ulang Bersama DPR

Posted on 2019-10-06 15:54:10 dibaca 5404 kali

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menyikapi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi benar-benar ditunggu. Tidak hanya menyudahi polemik, sikap presiden juga akan memberikan kepastian hukum bagi UU tersebut.

Saat ini UU KPK hasil revisi memang sudah disetujui DPR, tapi belum bisa berlaku karena presiden belum menandatanganinya. Pada 17 Oktober, sesuai batas 30 hari sejak pengesahan, hasil revisi UU tersebut akan tetap berlaku. Meskipun, presiden tidak menekennya.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengingatkan, penting bagi presiden segera mengambil sikap. Sikap presiden diharapkan mengakhiri polemik yang berkembang. Baik menerbitkan atau tidak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Bila presiden memutuskan untuk tidak mengeluarkan perppu, papar Bayu, sebaiknya UU tersebut segera diteken dan diundangkan. ”Agar para pihak yang berkeberatan bisa segera mengajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi,” terang dia saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin (5/10).

Saat ini sejumlah pihak sudah mengajukan pengujian terhadap UU KPK yang baru ke MK. Ada dua permohonan yang masuk, yakni dari mahasiswa lintas universitas dan para mahasiswa program magister ilmu hukum Universitas As Syafi’iyah. Dalam gugatannya, kedua pemohon sama-sama mengosongkan bagian nomor UU karena memang hasil revisi itu belum diundangkan.

Menurut Bayu, sebenarnya ada jalan tengah yang bisa diambil presiden untuk menyudahi tarik ulur perppu KPK. ”Saya menggagas perppu penangguhan berlakunya revisi Undang-Undang KPK,’’ katanya. Setelah revisi UU KPK diundangkan, presiden langsung menerbitkan perppu yang menangguhkan pemberlakuannya selama setahun.

Selama masa setahun itu, presiden mengajak DPR untuk membahas lagi. Dengan kata lain, melakukan legislative review atas UU tersebut. Pasal-pasal yang memang ditolak segera dibuang. Sedangkan yang memang efektif untuk menguatkan pemberantasan korupsi di KPK dipertahankan.

Pembahasannya cukup lewat proses legislasi biasa. ”Jangan seperti kemarin. Terburu-buru, tertutup, tidak partisipatif,” tutur akademisi kelahiran Sidoarjo itu. Satu tahun cukup bagi pemerintah dan DPR untuk melibatkan masyarakat dalam membahas revisi UU KPK. Tentu juga melibatkan KPK sebagai pihak pelaksana UU.

Perppu penangguhan berlakunya UU bukan hal baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Presiden Soeharto pernah menerbitkannya pada 1984 untuk menangguhkan berlakunya UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan perppu penangguhan dua kali. Yakni untuk menunda penerapan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan UU Pengadilan Perikanan.

Dengan menerbitkan perppu penundaan, lanjut Bayu, UU 30/2002 tentang KPK tetap berlaku. Tuntutan publik akan terpenuhi dan KPK bisa kembali bekerja dengan normal. ”Sementara DPR tidak kehilangan muka karena presiden tidak membatalkan,” jelas pria 37 tahun tersebut. Selain itu, kewibawaan presiden tetap terjaga.

Perppu penundaan menjadi jalan tengah di antara kebuntuan dua tuntutan. Di satu sisi, publik meminta perppu dikeluarkan untuk membatalkan UU KPK hasil revisi atau setidaknya membatalkan pasal-pasal yang ditolak publik. Sebaliknya, DPR menuntut kesepakatan antara pemerintah dan parlemen tidak dibatalkan sepihak oleh presiden.

Sementara itu, Wasekjen PPP Ade Irfan Pulungan mengungkapkan, presiden memang berdiskusi dengan parpol pendukung untuk mencari pertimbangan soal perppu. Dalam situasi seperti sekarang, apa keuntungan dikeluarkannya perppu. ”Bisa jadi, para pendukung Pak Jokowi, ketua-ketua umum partai, memberikan pendapat atau saran, belum waktunya dikeluarkan perppu,” terangnya.

Pada prinsipnya, lanjut Irfan, partai-partai koalisi sepenuhnya mendukung kebijakan yang diambil presiden. Hanya, partai juga merasa perlu memberikan masukan. ”Agar kebijakannya itu tidak dipengaruhi pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan polemik baru,” lanjutnya.

Menurut Irfan, lebih baik publik tidak apriori terlebih dulu terhadap revisi UU KPK. Seharusnya ada kesempatan untuk menjalankan UU tersebut. ”Kalau misalnya ada kesalahan dan kekeliruan, kan bisa dilakukan judicial review,” tutur pria yang berprofesi advokat itu. Hal tersebut merupakan bentuk pengawasan dari masyarakat karena UU tidak bisa sempurna 100 persen.

Menanggapi hal itu, Bayu mengingatkan bahwa dua di antara tiga opsi atas UU KPK, yakni legislative review dan judicial review, memiliki kelemahan. Tawaran sejumlah partai untuk menjalankan UU KPK lebih dulu kemudian merevisi bila ada kekurangan pasti akan ditolak sebagian besar masyarakat. ”Kelemahan opsi pertama ini, tidak ada kepastian kapan revisi akan kembali dilakukan,” terangnya.

Belum lagi, ada proses yang harus dilalui seperti masuk ke prolegnas sehingga butuh waktu. Begitu pula opsi judicial review atau JR ke MK. ”Karena tidak bisa menunda berlakunya Undang-Undang KPK hasil revisi,” ujar penulis buku Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia itu. MK biasanya menolak pengajuan provisi untuk menunda berlakunya UU. Sementara tidak ada kepastian kapan perkara akan diputus.

Bentuk kelemahan lainnya adalah pesimisme terhadap MK atas upaya pemberantasan korupsi. Bayu menguraikan, empat tahun terakhir MK membuat putusan yang terkesan permisif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Misalnya, eks koruptor tetap boleh menjadi calon kepala daerah. Kemudian, soal angket KPK, MK mengiyakan sikap DPR.

Sementara itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti berpandangan, legislative review menjadi opsi kedua bila dorongan agar presiden menerbitkan perppu gagal. Keluarnya perppu memang akan efektif untuk membatalkan revisi UU KPK, tetapi belum tentu bakal menjadi tahap final. Sebab, DPR masih bisa menolak perppu tersebut sehingga harus ada upaya hukum lain yang dilakukan.

Nah, yang dimaksud dengan legislative review adalah mendorong DPR melakukan perubahan terhadap isi revisi itu. ”Kami akan mencoba mendorong agar ada perubahan lagi melalui prosedur pembentukan UU yang biasa,” jelas Bivitri.

Itu pun harus melalui prosedur normal dan tidak ada percepatan tak lazim seperti yang terjadi pada pembentukan revisi UU KPK yang lalu. Prosesnya pun akan memakan waktu lama. Bivitri menjelaskan, untuk pembentukan suatu UU, ada empat tahapan yang harus dilalui. Mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan.(jawapos)

Sumber: www.jawapos.com
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com