TERAPUNG: Busra menghentikan perahu kecilnya karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Tampak Kelenteng Dharma Bakti di kejauhan. Sendiri di tengah laut.

Mengunjungi Xiao Yi Shen Tang, Satu-satunya Kelenteng Terapung di Dunia

Posted on 2014-01-30 15:00:00 dibaca 4234 kali
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, punya Xiao Yi Shen Tang atau Kelenteng Dharma Bakti. Menariknya, tempat ibadah itu terapung di tengah laut, sekitar 5 kilometer dari darat. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDONO dan fotografer YUYUNG ABDI singgah di kelenteng tersebut pekan lalu.
 
Busra tiba-tiba mengerem laju sampan kecilnya. Dia harus mandek lantaran "jalan" di depannya begitu bergelombang. Ya, gelombang dalam arti yang sebenarnya. Gulungan air di tepi Laut Natuna "salah satu "kaki" Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan dengan Pulau Kalimantan" terus-menerus menerjang sampan yang kami tumpangi itu.

Gelombangnya memang tak terlampau tinggi. Hanya setengah sampai satu meter. Namun, hantamannya sudah cukup untuk membuat biduk Busra "sampan bermotor selebar sekitar satu meter dengan panjang tak sampai empat meter" mengangguk-angguk liar seperti kuda lepas kendali.

Sembari berpegangan pada atap perahu yang tingginya hanya seperut, Busra meniti lambung sampan menjumpai kami yang sedang meringkuk di ujung buritan. Setengah berseru, pria kecil berkumis tipis dengan tubuh liat tersebut berkata kepada Hariyadi, fotografer Pontianak Post (Jawa Pos Group) yang menyertai perjalanan kami. "Ndak bisa maju! Air terus masuk!" Logat melayunya sangat kental.

Kami pun memilih untuk tidak mempertaruhkan satu-satunya nyawa. Sampan kecil itu pun balik kucing menuju muara Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, tempat kami meninggalkan daratan. Muara itu terletak sekitar 30 kilometer di selatan Kota Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.

Seperempat jam sebelumnya, kami sempat mendapat tatapan heran para nelayan di muara tersebut. Mereka heran dengan niat kami mencari perahu sewaan untuk menuju Xiao Yi Shen Tang di tengah laut.  "Mana ada orang ke laut jam segini" Ombaknya ngeri. Lihat, semua nelayan ikat perahu di sini," ujar seseorang yang bertubuh tambun dan berkacamata tebal.
--batas--
Hari itu Selasa (21/1) sekitar pukul 16.00. "Biasanya orang ke pek kong (sebutan untuk kelenteng, Red) itu pagi," tambah nelayan tersebut.

Memang, hanya Busra yang mau menjawab tantangan kami, mengantar ke pek kong saat sore, ketika ombak mulai tidak bersahabat. Meskipun, perahu kecilnya terbukti tidak berdaya memenggal bukit-bukit ombak Laut Natuna.

Setiba kembali di Sungai Kakap, Busra langsung mencari sampan pengganti. Dia mengajak Iwan, kawannya. Iwan punya perahu yang ukurannya nyaris sama dengan milik Busra. Bedanya, perahu Iwan bermesin lebih prima. Haluannya pun tidak bocor sehingga air laut tidak gampang masuk.

Sekali lagi, kami harus menyusuri Sungai Kakap yang berair cokelat itu, melewati perkampungan nelayan yang terdiri atas rumah-rumah panggung dari kayu. Kami melewati kolong jembatan kayu berwarna hijau dengan hiasan lampion-lampion merah di atasnya. Di bawah kolong tersebut ada ukiran merah pada papan kayu hijau berisi nama jembatan dalam dua aksara: Latin dan Tiongkok. Namanya Qiao Xing Qi atau Jembatan Bintang Tujuh.

Selepas mulut sungai, perahu terus-menerus terangguk-angguk dipermainkan ombak selama sekitar 40 menit. Di tengah laut itu, tidak ada perahu lain yang melintas. Hanya ada kami, perahu kecil yang sedang berjuang melawan angin dingin dan empasan ombak yang terus-menerus masuk ke dalam perahu. Fotografer Jawa Pos Yuyung Abdi memilih menyembunyikan kameranya di dalam bilik perahu yang besarnya hanya cukup untuk dua orang berjongkok tersebut.

Akhirnya, sekitar 5 kilometer dari darat, bangunan kelenteng itu tampak juga. Kaki-kakinya terlihat kukuh menjejak air laut. Catnya yang biru-merah serasi dengan latar belakang langit yang sedikit mendung sore itu. Sinar matahari memunculkan siluet sepasang feng huang atau burung hong (phoenix) pada bubungan atap yang melengkung runcing. Khas kelenteng.

Sore itu, perahu kami tak bisa merapat ke dermaga di sisi utara kelenteng. Di dermaga itu sudah ada satu perahu yang parkir. Kami harus memutari kelenteng untuk mencari tempat parkir. Busra dan Iwan yang mengemudikan kapal memilih masuk lewat sisi timur, depan kelenteng. Tapi, di situ tidak ada dermaga. "Kita harus memanjat, Bang!" ujar Iwan. Satu per satu, kami pun meraih kaki-kaki kelenteng, memanjat naik menuju lantai tempat ibadah tersebut.

Yang menyambut kami di kelenteng istimewa itu adalah Daman, 72, dan Sarwa Dharma, 73. Dua pria sepuh itu asli orang Kalbar yang lama merantau ke Jakarta. "Tiap tahun saya pulang ke sini, sama anak cucu, untuk kunjungi pek kong," ungkap Daman.

Logat pria sepuh itu seperti stereotipe orang-orang Tionghoa di film-film. Cedal dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Ketika itu, mereka dan tiga kawannya "semua sepuh" sedang menyiapkan sembahyang kirim uang untuk para dewa sesembahan mereka. "Ini semacam nazar umat. Menjelang tahun baru, kami mengirimi dewa uang," ujar Daman.

Berkarung-karung uang-uangan kertas berbahan tisu kuning disusun dengan rapi di bak semen di sisi kanan kelenteng. Tepat pukul 00.00, uang itu akan dibakar diiringi bunyi musik. Saat menjadi api, uang itu dipercaya akan membubung tinggi menuju nirwana untuk para dewa.  "Upacara bakaran itu dilakukan tiga malam berturut-turut," tambah lelaki yang seluruh rambutnya sudah menjadi uban tersebut.

Xiao Yi Shen Tang atau Kelenteng Dharma Bakti berukuran sekitar 20 x 20 meter dan menghadap ke timur. Seluruh bangunannya dibuat dari kayu belian (kayu ulin). Kayu pohon berspesies Eusideroxylon zwageri tersebut memang sangat kuat. Orang kerap menyebutnya kayu besi. Karena itu, meskipun terendam air laut dan dihajar gelombang setiap hari, kaki-kaki kelenteng tersebut masih tetap kuat. "Tidak ada lagi kelenteng di tengah laut di Indonesia," kata Sarwa Dharma. "Di dunia mungkin juga," tambahnya.

Bisa jadi, dia benar. Yang sering disebut kelenteng terapung di dunia adalah Biara Itsukushima di Hiroshima, Jepang. Tapi, biara itu tidak benar-benar dipancangkan pada tiang di tengah laut sebagaimana Kelenteng Dharma Bakti. Biara Itsukushima dibangun di sebuah pulau kecil dengan gerbangnya yang dibangun sedikit di luar pantai.
--batas--
Lalu, ada pula Kuil Persatuan Penganut Dewa Hean Boo di Pulau Penang, Malaysia, yang juga dibangun di laut. Kelenteng tersebut dibangun mepet pantai dan kawasan permukiman dengan anjungan depannya menghadap ke laut. Mengunjunginya bisa memakai perahu atau lewat darat.

Kelenteng Dharma Bakti di Kubu Raya bisa disebut satu-satunya yang dibangun di lautan lepas, jauh dari daratan, tanpa satu pun bangunan di sekelilingnya. Di seluruh penjuru Kelenteng Dharma Bakti hanya tampak lautan dengan siluet daratan di cakrawala.

Sarwa Dharma menuturkan, Kelenteng Dharma Bakti dibangun pada 1969 oleh umat yang tinggal di sekitar Sungai Kakap. Ketika itu, Sarwa sudah berumur 20-an. Cukup dewasa untuk mengingat pembangunan pek kong.  "Ini kelenteng baru. Yang lebih lama dibangun di situ. Sudah rusak," katanya sembari menunjuk sisi kiri kelenteng.

Di tempat tersebut sekarang sudah tidak ada bekas kelenteng itu. Hanya ada anjungan kecil untuk memerangkap ikan. Katanya, dengan perahu, umat bergiliran mengirimkan kayu ulin dan bahan-bahan lain untuk kelenteng tersebut.

Sarwa mengungkapkan, pek kong itu merupakan tanda bakti kepada empat jenderal laut, para dewa yang selalu mendampingi umat saat mencari ikan di laut. Untuk empat dewa tersebut, kini dibangunkan altar kecil di empat sudut kelenteng. Menjelang Imlek, empat altar itu, termasuk altar-altar utama di dalam areal kelenteng, diberi sesaji lengkap. Di depan patung-patung ada gunungan jeruk dan berseloki-seloki teh serta arak.

Kelenteng Xiao Yi Shen Tang terdiri atas tiga bangunan dengan atap-atap melengkung. Bangunan paling depan memiliki sepasang hong di bubungannya. Dua bangunan yang paling belakang dihiasi sepasang long (naga) di puncaknya.

Kelenteng terapung itu juga tidak hanya berisi altar dewa-dewi. Sayap kiri bangunan berupa kamar berisi enam tempat tidur yang bersusun. Semua dibangun permanen menempel di tembok. Di kamar itu terdapat setumpuk tikar pandan dan selimut untuk mereka yang ingin menginap. "Kalau mau, 25 orang pun muat di sini. Sebagian tidur di ranjang, sebagian di lantai," ujarnya.

Sementara itu, sayap kanan bangunan, dekat dengan bak semen untuk membakar uang-uangan, merupakan dapur yang tersambung ke dua kamar mandi dan empat toilet. Ruangannya cukup gelap. Toilet dan kamar mandi itu juga full kayu. Lantainya tidak rapat sehingga air mandi bisa langsung jatuh ke samudra.

Di masing-masing toilet yang berukuran sekitar 1,5 x 1,5 meter, ada satu celah di lantai dengan lebar sejengkal. Pada celah itu, segala bentuk limbah tubuh akan langsung lenyap ditelan air laut.

Kelenteng tersebut memang rutin disambangi umat yang ingin nyepi di tengah laut. Biasanya, mereka datang pagi, lalu pulang pagi berikutnya saat ombak masih tenang. "Setelah siang, ombaknya gila," ungkap Daman sambil menggerak-gerakkan tangannya bak gunungan ombak.

Selain umat, pada akhir pekan kelenteng tersebut kerap dikunjungi wisatawan. Tidak hanya mengagumi arsitektur dan warisan budaya kelenteng, para turis juga kerap memanfaatkan teras kayu di sekeliling tempat ibadah itu untuk memancing ikan.

Sampai saat ini, seluruh bangunan kelenteng "termasuk atapnya yang juga dari kayu ulin" masih asli. Tidak ada secuil kayu baru pun yang menggantikannya. Relief-relief kelenteng, lukisan dindingnya, serta patung-patung dewa yang menghuni altar masih sama dengan yang disaksikan Daman dan Sarwa saat mereka muda dulu.

Karena itu, Kelenteng Dharma Bhakti membangkitkan romantisme yang teramat dalam bagi orang-orang sepuh itu. Setiap tahun, menjelang sin cia (bulan pertama baru), mereka terbang dari Jakarta. Tanpa mengajak serta anak atau cucunya, Daman dan Sarwa mengarungi laut untuk bermeditasi bersama para dewa di tengah laut. "Kami nginap empat malam. Ini malam pertama," kata Daman.

Matahari sudah lenyap di cakrawala di belakang kelenteng. Langit kian gelap. Daman sedikit menggigil sambil bersedekap. "Kalau malam, dingin sekali," ujarnya. Tapi, pria itu tidak mengambil jaket. Dia masih mengenakan hem tipis dan celana pendek. Kakinya pun tetap tidak beringsut.

Saat lampu-lampu kelenteng dinyalakan dengan genset yang umurnya sama dengan kelenteng, kami pamit. Daman dan Sarwa yang begitu senang dengan kunjungan kami memberi kami sekantong besar jeruk pontianak yang manis. Buah yang sama dengan yang dipersembahkan di altar dewa-dewa.

Sekali lagi, perahu kami berjalan dengan getaran kasar melalui ombak menuju muara Sungai Kakap. Kami tinggalkan kelenteng itu dalam kedamaiannya di tengah Laut Natuna yang gelap dan dingin. Kami tinggalkan orang-orang tua yang sedang meninggalkan keramaian untuk bisa lebih mendekat kepada Tuhan tersebut.

sumber: jambi ekspres
Copyright 2019 Jambiupdate.co

Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129

Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896

E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com